Realisasi Iman dalam Kehidupan Sosial
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT sebagai tauladan bagi segenap manusia. Contohlah
Oleh: Siti Nurhabibah [Kolumnis]
SATUJALAN NETWORK – Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT sebagai tauladan bagi segenap manusia. Ajaran Islam ad-Din al-Haq yang dibawanya kesemua dasarnya adalah wahyu Allah SWT sebagaimana dalam Al-Qur’an.
Sebagai seorang uswat al-Hasanah beliau SAW adalah penyampai, penafsir, dan penjelas firman-firman Allah dalam Al-Qur’an lewat qoul beliau, fi’liyah beliau, dan taqrir beliau SAW.
Islam adalah Rahmat li al-‘Alamin, di dalam ajaran-ajarannya terkandung nilai-nilai cinta kasih yang telah nyata dicontohkan oleh baginda Muhammad SAW lewat akhlak mulia beliau. Berikut ini adalah sedikit pembahasan berkaitan dengan realisasi iman dalam kehidupan sosial berdasarkan uswah Rasulullah SAW dalam sunah beliau SAW.
Cinta adalah sesuatu yang niscaya ada dalam peri kehidupan makhluk berakal seperti manusia baik berbangsa, bernegara, maupun dalam kehidupan beragama. Rasulullah SAW sebagai suri tauladan agung bagi manusia telah menjelaskan tentang betapa pentingnya cinta dan kasih sayang terhadap sesama insan dalam hadits berikut ini:
.Artinya: “Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
*Kesempurnaan Iman*
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mu’min yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama sekali. Pernyataan pada hadis di atas mengandung makna “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf nafi لا pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan buka ketidakberimanan.
Prinsip tersebut mengantar kita untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara sesama muslim yang dalam hadis lain diibaratkan sebagai satu bangunan.
Seorang muslim yang baik keislamannya adalah orang yang tidak mengganggu orang lain. Artinya setiap gerak dan tingkah lakunya adalah tidak menghalangi hak-hak orang lain, lebih-lebih sampai mendzaliminya. Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya sebagai berikut: Artinya : “Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullah bin Abi al-Saffar dan Isma’il bin Abi Khalid dari al-Sya’biy dari ‘Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “Seorang muslim adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang berhijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah SWT. (H.R. Bukhori , Muslim dan Ahmad).
Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menggambarkannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati. Inilah ciri-ciri muslim yang tidak mengganggu orang lain
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Pesan Kedua , secara tekstual hadis di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah saw., yaitu meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
*Tutur Kata yang Baik*
Seperti telah disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Talib : “Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota”. Konsekuensi bagi orang yang mengaku dirinya telah beriman Kepada Allah SWT, adalah keharusan untuk membuktikan keimanannya kepada Allah SWT. Rasulullah menyinggung hal ini dalam hadis berikut: Artinya : Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ciri – cirri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan hak-hak Allah swt., yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu.
Daftar Pustaka
”Terjemah Hadits Arba’in An-Nawawiyah “, Di terjemahkan oleh : Aminah Abd. Dahlan, PT.Al-Ma’arif , Bandung
“Terjemah Hadits Shahh Muslim Jilid 1”, Diterjemahkan oleh : Ma’mur Daud, Widjaya, Jakarta,1986
“Bulughul Maram min Adilatil Ahkam”, Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, Pustaka Hidayah,2008