Riyadhus Shalihin Bab 11. Bersungguh-sungguh
Dan sembahlah Tuhanmu sehingga datanglah keyakinan -kematian- itu padamu.” (al-Hijr: 99)
SATUJALAN NETWORK – Riyadhus Shalihin Bab 11. Bersungguh-sungguh
قال اللَّه تعالى : { والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا، وإن اللَّه لمع المحسنين } .
Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang berjihad dalam membela agama Kami, maka pasti akan Kami tunjukkan mereka itu akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang berbuat kebaikan.” (al-Ankabut: 69)
وقال تعالى : { واعبد ربك حتى يأتيك اليقين } .
Allah Ta’ala berfirman lagi: “Dan sembahlah Tuhanmu sehingga datanglah keyakinan -kematian- itu padamu.” (al-Hijr: 99)
وقال تعالى : { واذكر اسم ربك، وتبتل إليه تبتيلا } أي انقطع إليه.
Lagi Allah Ta’ala berfirman: “Dan ingatlah akan nama Tuhanmu serta beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati,” yakni hentikanlah segala pemikiran yang lain, sehingga semata-mata hanya menghadap kepadaNya.” (al-Muzzammil: 8)
وقال تعالى : { فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره } .
Allah Ta’ala juga berfirman: “Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat timbangan debu, iapun pasti akan mengetahuinya.” (az-Zalzalah: 7)
وقال تعالى: { وما تقدموا لأنفسكم من خير تجدوه عند اللَّه هو خيرا وأعظم أجرا } .
Juga Allah Ta’ala berfirman: “Dan apa saja -perbuatan baik- yang engkau sekalian berikan -persiapkan- untuk dirimu sendiri, nanti pasti akan engkau sekalian dapati di sisi Allah, keadaannya adalah lebih baik dan lebih besar pahalanya dan mohonlah pengampunan kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (al-Muzzammil: 20)
وقال تعالى : { وما تنفقوا من خير فإن اللَّه به عليم } .
Lagi firman Allah Ta’ala: “Dan apa saja kebaikan yang engkau sekalian kerjakan, maka sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 215)
Ayat-ayat dalam bab ini banyak sekali dan dapat dimaklumi. Adapun Hadis-hadisnya ialah:
فالأَول: عن أبي هريرة رضي اللَّه عنه. قال قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «إِنَّ اللَّه تعالى قال: منْ عادى لي وليًّاً. فقدْ آذنتهُ بالْحرْب. وما تقرَّبَ إِلَيَ عبْدِي بِشْيءٍ أَحبَّ إِلَيَ مِمَّا افْتَرَضْت عليْهِ: وما يَزالُ عبدي يتقرَّبُ إِلى بالنَّوافِل حَتَّى أُحِبَّه، فَإِذا أَحبَبْتُه كُنْتُ سمعهُ الَّذي يسْمعُ به، وبَصره الذي يُبصِرُ بِهِ، ويدَهُ التي يَبْطِش بِهَا، ورِجلَهُ التي يمْشِي بها، وَإِنْ سأَلنِي أَعْطيْتَه، ولَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَّنه» رواه البخاري.
«آذنتُهُ» أَعلَمْتُه بِأَنِّي محارب لَهُ «استعاذنِي» رُوى بالنون وبالباءِ.
95. Pertama: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman -dalam hadits qudsi : “Barangsiapa memusuhi kekasihKu, maka Aku memberitahukan padanya bahwa ia akan Kuperangi -Kumusuhi. Dan tidaklah seorang hambaKu itu mendekat padaKu dengan sesuatu yang amat Kucintai lebih daripada apabila ia melakukan apa-apa yang telah Kuwajibkan padanya. Dan tidaklah seorang hambaKu itu mendekatkan padaKu dan melakukan hal-hal yang sunnah sehingga akhirnya Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Akulah yang sebagai telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, Akulah matanya yang ia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang ia gunakan untuk mengambil dan Akulah kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Andaikata ia meminta sesuatu padaKu, pastilah Kuberi dan andaikata memohonkan perlindungan padaKu, pastilah Kulindungi.” (Riwayat Bukhari) Makna lafaz Aadzantuhu, artinya: “Aku (Tuhan) memberitahukan kepadanya (yakni orang yang mengganggu kekasihKu itu) bahwa Aku memerangi atau memusuhinya, sedang lafaz Ista’aadzanii, artinya “Ia memohonkan perlindungan padaKu. Ada yang meriwayatkan dengan ba’, lalu berbunyi Ista’aadza bii dan ada yang meriwayatkan dengan nun, lalu berbunyi Ista’aadzanii.
Keterangan:
Yang perlu kita resapkan dalam hadits ini ialah:
a. Di atas itu, Hadis Qudsi namanya.
b. Kekasih Allah ialah orang yang amat taqwa kepadaNya dan orang yang memusuhi kekasih Allah ini pasti akan rusak binasa sebab dimusuhi oleh Allah.
c. Jadi bila hendak mendekat pada Allah, lebih dulu penuhilah kewajiban-kewajiban yang telah dipikulkan oleh Allah pada kita itu,
d. Maka kalau orang itu sudah benar-benar dekat pada Allah semua pendengarannya, penglihatannya, pengambilannya dan perjalanannya selalu diberi petunjuk oleh Allah sehingga cahaya Tuhan selalu ada di kanan kirinya.
الثاني: عن أَنس رضي اللَّه عنه عن النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فيمَا يرْوِيهِ عنْ ربهِ عزَّ وجَلَّ قال: «إِذَا تقرب الْعبْدُ إِليَّ شِبْراً تَقرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِراعاً، وإِذَا تقرَّب إِلَيَّ ذراعاً تقرَّبْتُ منه باعاً، وإِذا أَتانِي يَمْشِي أَتيْتُهُ هرْوَلَة» رواه البخاري.
96. Kedua: Dari Anas radhiyallahu anhu dari Nabi shalallahu alaihi wasalam dalam sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya ‘Azzawajalla, firmanNya -ini juga hadits Qudsi : “Jikalau seorang hamba itu mendekat padaKu sejengkal, maka Aku mendekat padanya sehasta dan jikalau ia mendekal padaKu sehasta, maka Aku mendekat padanya sedepa. Jikalau hamba itu mendatangi Aku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan bergegas-gegas.” (Riwayat Bukhari)
Keterangan:
Hadis yang tercantum di atas itu adalah sebagai perumpamaan belaka, baik bagi Allah atau bagi hambaNya. Jadi maksudnya ialah barangsiapa yang mengerjakan ketaatan kepada Allah sekalipun sedikit, maka Allah akan menerima serta memperlipat-gandakan pahalanya, juga pelakunya itu diberi kemuliaan olehNya selama di dunia sampai di akhirat. Makin besar dan banyak ketaalannya, makin pula besar dan bertambah-tambah pahalanya. Manakala cara melakukan ketaatan itu dengan perlahan-lahan, Allah bukannya memperlahan atau memperlambatkan pahalanya, tetapi bahkan dengan segera dinilai pahalanya itu dengan penilaian yang luar biasa tingginya. Demikianlah tujuan dan makna yang tersirat dalam isi hadits tersebut. Wallahu A’lam bish-shawaab.
الثالث: عن ابن عباس رضي اللَّه عنه قال: قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «نِعْمتانِ مغبونٌ فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ» رواه مسلم.
97. Ketiga: Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya: Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ada dua macam kenikmatan yang keduanya itu disia-siakan oleh sebagian besar manusia yaitu kesehatan dan kelapangan waktu.” (Riwayat Bukhari)
Keterangan:
Lafaz Maghbuun dalam Hadis di atas itu, asalnya dari kata Zhaban, yaitu membeli sesuatu dengan harga yang melebihi batas dari harga yang semestinya dan berlipat-lipat dari yang seharusnya dibayarkan, jadi yang sepatutnya dibeli seratus rupiah, tiba-tiba dibeli dengan harga seribu rupiah. Juga Ghaban itu dapat berarti menjual sesuatu dengan harga yang terlampau sangat rendahnya, misalnya sesuatu itu dapat dijual dengan harga lima puluh rupiah, tetapi hanya dijual dengan harga lima rupiah saja. Orang mukallaf yakni manusia yang sudah baligh lagi berakal oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam diumpamakan sebagai seorang pedagang. Kesehatan tubuh dan kelapangan waktu yakni waktu tidak ada pekerjaan apa-apa yang diumpamakan sebagai pokok harta atau kapital untuk berdagang itu, sedang ketaatan kepada Allah Ta’ala sebagai benda-benda yang diperdagangkan. Namun demikian sebagian besar umat manusia tidak mengerti betapa pentingnya memiliki dua macam kapital dan bingung untuk memilih apa yang hendak diperdagangkan itu, padahal sudah jelas pokok kapitalnya ialah kesehatan dan kelapangan waktu dan yang semestinya dikejar untuk mendapatkan keuntungan ialah membeli dagangan yang akan dapat memberi keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukankah ketaatan kepada Allah itu akan menguntungkan sekali, baik di dunia atau di akhirat. Bukankah itu pula yang menyebabkan akan dapat memperoleh laba yang besar sekali di sisi Allah dan yang menjurus ke arah mendapat kebahagiaan. Tetapi semua itu disia-siakan oleh sebagian besar umat manusia sewaktu mereka hidup di dunia ini. Barulah orang itu mengerti besarnya kenikmatan sehat dan lapang waktu itu, apabila telah sakit dan banyak kesibukan, sehingga banyak kewajiban-kewajiban terhadap agama menjadi kocar-kacir dan terbengkalai atau sama sekali ditinggalkan. Semoga kita semua dilindungi oleh Allah dari hal-hal yang sedemikian itu.
الرابع: عن عائشة رضي اللَّه عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم كَان يقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حتَّى تتَفطَرَ قَدمَاهُ، فَقُلْتُ لَهُ، لِمْ تصنعُ هذا يا رسولَ اللَّهِ، وقدْ غفَرَ اللَّه لَكَ مَا تقدَّمَ مِنْ ذَنبِكَ وما تأخَّرَ؟ قال: «أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أكُونَ عبْداً شكُوراً؟» متفقٌ عليه. هذا لفظ البخاري، ونحوه في الصحيحين من رواية المُغيرة بن شُعْبَةَ.
98. Keempat: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam berdiri untuk beribadah dari sebagian waktu malam sehingga pecah-pecahlah kedua tapak kakinya. Saya (Aisyah) lalu berkata padanya: “Mengapa Tuan berbuat demikian, ya Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni untuk Tuan dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang kemudian?” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Adakah aku tidak senang untuk menjadi seorang hamba yang banyak bersyukurnya?” (Muttafaq ‘alaih) Ini adalah menurut lafaz Bukhari dan yang seperti itu terdapat pula dalam kedua kitab shahih -Bukhari dan Muslim- dari riwayat Mughirah bin Syu’bah.
Keterangan:
Dalam mengulas apa yang dikatakan oleh Sayidah Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasuiullah shalallahu alaihi wasalam itu sudah diampuni semua dosanya oleh Allah, baik yang dilakukan dahulu atau belakangan, maka al-lmam Ibnu Abi Jamrah radhiyallahu anhu memberikan uraiannya sebagai berikut: “Sebenarnya tiada seorangpun yang dalam hatinya terlintas suatu persangkaan bahwa dosa-dosa yang diberitahukan oleh Allah Ta’ala yang telah diampuni yakni mengenai diri Nabi shalallahu alaihi wasalam itu adalah dosa yang kita maklumi dan yang biasa kita jalankan ini, baik yang dengan sengaja atau cara apapun. Itu sama sekali tidak, sebab Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, juga semua Nabiyullah ‘alaihimus shalatu wassalam itu adalah terpelihara dan terjaga dari semua kemaksiatan dan dengan sendirinya tidak ada dosanya sama sekali (ma’shum minadzdzunub). Semoga kita semua dilindungi oleh Allah dari memiliki persangkaan yang jelas salahnya sebagaimana di atas. Jadi tujuannya hanyalah sebagai mempertunjukkan kepada seluruh umat, betapa besarnya kewajiban setiap manusia, yang di dalamnya termasuk pula Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam untuk memaha agungkan, memaha besarkan kepadaNya serta senantiasa mensyukuri kenikmatan-kenikmatanNya. Oleh sebab apa yang dilakukan oleh manusia, bagaimanapun juga besar dan tingginya nilai apa yang diamalkannya itu, masih belum memadai sekiranya dibandingkan dengan kenikmatan yang dilimpahkan oleh Nya kepada manusia tersebut. Maka dari itu hak-hak Allah yang wajib kita penuhi sebagai imbalan karuniaNya itu, masih belum sesuai dengan amalan baik yang kita lakukan, sekalipun dalam anggapan kita sudah amat banyak sekali. Jadi lemahlah kita untuk mengimbanginya dan itulah sebabnya, maka memerlukan adanya pengampunan sekalipun tiada dosa yang dilakukan sebagaimana halnya Rasulullah Muhammad serta sekalian para nabiNya ‘alaihimus shalatu wassalam itu.”
الخامس: عن عائشة رضي اللَّه عنها أنها قالت: «كان رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم إذَا دَخَلَ الْعشْرُ أحيا اللَّيْلَ، وأيقظ أهْلهْ، وجدَّ وشَدَّ المِئْزَرَ» متفقٌ عليه.
والمراد: الْعشْرُ الأواخِرُ من شهر رمضان: «وَالمِئْزَر»: الإِزارُ وهُو كِنايَةٌ عن اعْتِزَال النِّساءِ، وقِيلَ: المُرادُ تشْمِيرهُ للعِبادَةِ. يُقالُ: شَددْتُ لِهذا الأمرِ مِئْزَرِي، أيْ: تشمرتُ وَتَفَرَّغتُ لَهُ.
99. Kelima: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha juga bahwasanya ia berkata: “Rasulullah itu apabila masuk hari sepuluh -diakhir bulan Ramadhan-, maka ia menghidup-hidupkan malamnya dan membangunkan istrinya dan bersungguh-sungguh serta mengeraskan ikat pinggangnya.”
Yang dimaksudkan ialah: Hari sepuluh artinya sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan -jadiantara tanggal 21 Ramadhan sampai habisnya bulan itu. Mi’zar atau izar dikeraskan ikatannya maksudnya sebagai sindiran menyendiri dari kaum wanita – yakni tidak berkumpul dengan istri-istrinya, ada pula yang memberi pengertian bahwa maksudnya itu ialah amat giat untuk beribadah. Dikatakan: Saya rnengeraskan ikat pinggangku untuk perkara ini, artinya: Saya bersungguh-sungguh melakukannya dan menghabiskan segala waktu untuk merampungkannya.
السادس: عن أبي هريرة رضي اللَّه عنه قال: قال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «المُؤمِن الْقَوِيُّ خيرٌ وَأَحبُّ إِلى اللَّهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وفي كُلٍّ خيْرٌ. احْرِصْ عَلَى مَا ينْفَعُكَ، واسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ. وإنْ أصابَك شيءٌ فلاَ تقلْ: لَوْ أَنِّي فَعلْتُ كانَ كَذَا وَكذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قدَّرَ اللَّهُ، ومَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَان». رواه مسلم.
100. Keenam: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Orang mu’min yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mu’min yang lemah. Namun keduanya itupun sama memperoleh kebaikan. Berlombalah untuk memperoleh apa saja yang memberikan kemanfaatan padamu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah merasa lemah. Jikalau engkau terkena oleh sesuatu musibah, maka janganlah engkau berkata: “Andaikata saya mengerjakan begini, tentu akan menjadi begini dan begitu.” Tetapi berkatalah: “Ini adalah takdir Allah dan apa saja yang dikehendaki olehNya tentu Dia melaksanakannya,” sebab sesungguhnya ucapan “andaikata” itu membuka pintu godaan syaitan.” (Riwayat Muslim)
السابع: عنه أَنَّ رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال: «حُجِبتِ النَّارُ بِالشَّهَواتِ، وحُجِبتْ الْجَنَّةُ بَالمكَارِهِ» متفقٌ عليه.
وفي رواية لمسلم: «حُفَّت» بَدلَ «حُجِبتْ» وهو بمعناهُ: أيْ: بينهُ وبيْنَهَا هَذا الحجابُ، فإذا فعلَهُ دخَلها.
101. Ketujuh: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu pula bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ditutupilah -dinaungi- neraka dengan berbagai kesyahwatan -keinginan- dan ditutupilah -dinaungi- syurga itu dengan berbagai hal yang tidak disenangi.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam sebuah riwayat, dari Muslim disebutkan dengan menggunakan kata huffat sebagai ganti kata hujibat, sedang artinya adalah sama, yaitu bahwa antara seorang dengan neraka (atau syurga) itu ada tabirnya, maka jikalau tabir ini dilakukannya, tentulah ia masuk ke dalamnya.
الثامن: عن أبي عبد اللَّه حُذَيْفةَ بن اليمانِ، رضي اللَّهُ عنهما، قال: صَلَّيْتُ مع النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ذَاتَ ليَْلَةٍ، فَافَتَتَحَ الْبقرة، فقُلْت يرْكَعُ عِندَ المائة، ثُمَّ مضى، فَقُلْت يُصلِّي بِهَا في رَكْعةٍ، فَمَضَى.
فَقُلْت يَرْكَع بهَا، ثمَّ افْتتَح النِّسَاءَ، فَقَرأَهَا، ثمَّ افْتتح آلَ عِمْرانَ فَقَرَأَهَا، يَقْرُأُ مُتَرَسِّلاً إذَا مرَّ بِآيَةٍ فِيها تَسْبِيحٌ سَبَّحَ، وإِذَا مَرَّ بِسْؤالٍ سَأل، وإذَا مَرَّ بِتَعَوذٍ تَعَوَّذَ، ثم ركع فَجعل يقُول: «سُبحانَ رَبِّيَ الْعظِيمِ» فَكَانَ ركُوعُه نحْوا مِنْ قِيامِهِ ثُمَّ قَالَ: «سمِع اللَّهُ لِمن حمِدَه، ربَّنا لك الْحمدُ» ثُم قَام قِياماً طوِيلاً قَريباً مِمَّا ركَع، ثُمَّ سَجَدَ فَقالَ: «سبحان رَبِّيَ الأعلَى» فَكَانَ سُجُوده قَرِيباً مِنْ قِيامِهِ». رواه مسلم.
102. Kedelapan: Dari Abu Abdillah, yaitu Hudzaifah bin al-Yaman al-Anshari yang terkenal sebagai penyimpan rahasia Rasullah shalallahu alaihi wasalam, radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Saya bershalat beserta Nabi shalallahu alaihi wasalam pada suatu malam maka beliau membuka -dalam rakaat pertama- dengan surat al-Baqarah. Saya berkata: “Beliau ruku’ pada ayat keseratus, kemudian berlalulah.” Saya berkata: “Beliau bershalat dengan bacaan tadi itu dalam satu rakaat, kemudian berlalu.” Selanjutnya saya berkata: “Beliau ruku’ dengan bacaan di atas itu, kemudian membuka -dalam rakaat kedua – dengan surat an-Nisa’ lalu membacanya, kemudian membuka lagi -sebagai lanjutannya- surat ali Imran, kemudian membacanya. Beliau shalallahu alaihi wasalam membacanya itu dengan rapi sekali -tidak tergesa-gesa- jikalau melalui ayat yang di dalamnya mengandung pentasbihan -memahasucikan- beliaupun mengucapkan tasbih, jikalau melalui ayat yang mengandung suatu permohonan, beliaupun memohon, jikalau melalui ayat yang menyatakan berta’awwudz -mohon perlindungan kepada Allah dari sesuatu yang tidak baik, beliaupun berta’awwudz -mohon perlindungan. Kemudian beliau shalallahu alaihi wasalam ruku’ dan di situ beliau mengucapkan: Subhana rabbiyal ‘azhim. Ruku’nya adalah seumpama saja dengan berdirinya -yakni perihal lamanya hampir sama-, selanjutnya beliau mengucapkan: Sami’allahuliman hamidah. Rabbana lakal hamd, lalu berdiri dengan berdiri yang lama mendekati ruku’nya tadi. Seterusnya beliau bersujud lalu mengucapkan: Subhana rabbial a’la, maka -lama waktu- sujudnya itu mendekati pula akan berdirinya.” (Riwayat Muslim)
التاسع: عن ابن مسعودٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه قال: صلَّيْت مع النَبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم لَيلَةً، فَأَطَالَ الْقِيامَ حتَّى هممْتُ أَنْ أجْلِسَ وَأدعَهُ. متفقٌ عليه.
103. Kesembilan: Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, katanya: “Saya bershalat beserta Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pada suatu malam, maka beliau memperpanjangkan berdirinya, sehingga saya bersengaja -berniat- untuk melakukan sesuatu yang tidak baik.” Ia ditanya: “Dan apakah hal yang tidak baik yang engkau sengajakan itu?” Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menjawab: “Saya bersengaja -berniat- hendak duduk saja dan meninggalkan beliau -tidak terus berma’mum padanya.” (Muttafaq ‘alaih)
العاشر: عن أنس رضي اللَّه عنه عن رسولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال: «يتْبعُ الميْتَ ثلاثَةٌ: أهلُهُ ومالُه وعمَلُه، فيرْجِع اثنانِ ويبْقَى واحِدٌ: يرجعُ أهلُهُ ومالُهُ، ويبقَى عملُهُ» متفقٌ عليه.
104. Kesepuluh: Dari Anas radhiyallahu anhu dari Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, sabdanya: “Mengikuti kepada seorang mayit itu tiga hal, yaitu keluarganya, hartanya serta amalnya. Kemudian kembalilah yang dua macam dan tertinggallah yang satu. Kembalilah keluarga serta hartanya dan tertinggallah amalnya.” (Muttafaq ‘alaih)
الحادي عشر: عن ابن مسعودٍ رضيَ اللَّهُ عنه قال: قال النبيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «الجنة أقَربُ إلى أَحدِكُم مِنْ شِراكِ نَعْلِهِ والنَّارُ مِثْلُ ذلِكَ» رواه البخاري.
105. Kesebelas: Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu katanya: “Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Syurga itu lebih dekat pada seorang diantara engkau sekalian daripada ikat terompah -sandal-nya -sandalnya-, nerakapun demikian pula.” (Riwayat Bukhari)
Keterangan:
Maksud hadits di atas itu ialah bahwa untuk mencapai syurga atau neraka itu mudah sekali. Jika seorang ingin mendapatkan syurga tentulah wajib mempunyai kesengajaan -niat dan usaha- yang benar, melakukan ketaatan dan kebaktian kepada Tuhan, melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua laranganNya, tetapi jika ingin memasuki neraka -semoga kita dilindungi Allah dari siksa neraka itu, tentulah dengan jalan mengikuti apa saja yang menjadi kehendak hawa nafsu, menuruti kemauan syaitan dan melakukan apa saja yang berupa kemaksiatan dan kemungkaran.
الثاني عشر: عن أبي فِراس رَبِيعةَ بنِ كَعْبٍ الأسْلَمِيِّ خادِم رسولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، ومِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ رضي اللَّهُ عنه قال: كُنْتُ أبيتُ مع رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، فآتِيهِ بِوَضوئِهِ، وحاجتِهِ فقال: «سلْني» فقُلْت: أسْألُكَ مُرافَقَتَكَ في الجنَّةِ. فقالَ: «أوَ غَيْرَ ذلِك؟» قُلْت: أسْألُكَ مُرافَقَتَكَ في الجنَّةِ. فقالَ: «أوَ غَيْرَ ذلِك ؟» قُلْت: هو ذَاك. قال: «فأَعِنِّي على نَفْسِكَ بِكَثْرةِ السجُودِ» رواه مسلم.
106. Keduabelas: Dari Abu Firas yaitu Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, pelayan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan ia termasuk pula dalam golongan ahlussuffah -yakni kaum fakir miskin- radhiyallahu anhu katanya: “Saya bermalam beserta Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, kemudian saya mendatangkan untuknya dengan air wudhu’nya serta hajatnya -maksudnya pakaian dan lain-lain. Kemudian beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Memintalah padaku!” Saya berkata: “Saya meminta kepada Tuan untuk menjadi kawan Tuan di dalam syurga.” Beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda lagi: “Apakah tidak ada yang selain itu?” Saya menjawab: “Sudah, itu sajalah.” Beliau lalu bersabda: “Kalau begitu tolonglah aku -untuk melaksanakan permintaanmu itu- dengan memaksa dirimu sendiri untuk memperbanyak bersujud -maksudnya engkaupun harus pula berusaha untuk terlaksananya permintaan tersebut dengan jalan memperbanyak menyembah Allah -dengan shalat-.” (Riwayat Muslim)
الثالث عشر: عن أبي عبد اللَّه ويُقَالُ: أبُو عبْدِ الرَّحمنِ ثَوْبانَ موْلى رسولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال: سمِعْتُ رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقول: عليكَ بِكَثْرةِ السُّجُودِ، فإِنَّك لَنْ تَسْجُد للَّهِ سجْدةً إلاَّ رفَعكَ اللَّهُ بِهَا درجةً، وحطَّ عنْكَ بِهَا خَطِيئَةً» رواه مسلم.
107. Ketigabelas: Dari Abu Abdillah, juga dikatakan dengan nama Abu Abdir Rahman yaitu Tsauban, hamba sahaya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam radhiyallahu anhu, katanya: “Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Hendaklah engkau memperbanyak bersujud, sebab sesungguhnya engkau tidaklah bersujud kepada Allah sekali sujud, melainkan dengannya itu Allah mengangkatmu satu derajat dan dengannya pula Allah menghapuskan satu kesalahan dari dirimu.” (Riwayat Muslim)
الرابع عشر: عن أبي صَفْوانَ عبدِ اللَّه بن بُسْرٍ الأسلَمِيِّ، رضي اللَّه عنه، قال: قال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «خَيْرُ النَّاسِ مَن طالَ عمُرُه وَحَسُنَ عملُه» رواه الترمذي، وقال حديثٌ حسنٌ.
108. Keempatbelas: Dari Abu Shafwan yaitu Abdullah bin Busr al-Aslami radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sebaik-baik manusia ialah orang yang panjang usianya dan baik kelakuannya.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.
الخامس عشر: عن أنسٍ رضي اللَّه عنه، قال: غَاب عمِّي أَنَسُ بنُ النَّضْرِ رضي اللَّهُ عنه، عن قِتالِ بدرٍ، فقال: يا رسولَ اللَّه غِبْت عن أوَّلِ قِتالٍ قَاتلْتَ المُشرِكِينَ، لَئِنِ اللَّهُ أشْهَدَنِي قتالَ المشركين لَيُرِيَنَّ اللَّهُ ما أصنعُ، فلما كانَ يومُ أُحدٍ انْكشَفَ المُسْلِمُون فقال: اللَّهُمَّ أعْتَذِرُ إليْكَ مِمَّا صنَع هَؤُلاءِ يَعْني أصْحَابَه وأبرأُ إلَيْكَ مِمَّا صنعَ هَؤُلاَءِ يعني المُشْرِكِينَ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَاسْتَقْبَلَهُ سعْدُ بْنُ مُعاذٍ، فَقالَ: يا سعْدُ بْنَ معُاذٍ الْجنَّةُ ورَبِّ الكعْبةِ، إِنِى أجِدُ رِيحَهَا مِنْ دُونِ أُحُدٍ. قال سعْدٌ: فَمَا اسْتَطعْتُ يا رسول اللَّه ماصنَعَ، قَالَ أنسٌ: فَوجدْنَا بِهِ بِضْعاً وثمانِينَ ضَرْبةً بِالسَّيفِ، أوْ طَعْنَةً بِرُمْحٍ، أو رمْيةً بِسهْمٍ، ووجدْناهُ قَد قُتِلَ وَمثَّلَ بِهِ المُشرِكُونَ فَما عرفَهُ أَحدٌ إِلاَّ أُخْتُهُ بِبنَانِهِ. قال أنسٌ: كُنَّا نَرى أوْ نَظُنُّ أنَّ هَذِهِ الآيَة نزلَتْ فيهِ وَفِي أشْباهِهِ: [مِنَ المُؤْمِنِينَ رِجالٌ صدقُوا ما عَاهَدُوا اللَّه علَيهِ] [الأحزاب: 23] إلى آخرها. متفقٌ عليه.
قوله: «لَيُريَنَّ اللَّهُ» رُوى بضم الياءِ وكسر الراءِ، أي لَيُظْهِرنَّ اللَّهُ ذَلِكَ لِلنَّاسِ، ورُوِى بفتحهما، ومعناه ظاهر، واللَّه أعلم.
109. Kelimabelas: Dari Anas radhiyallahu anhu, katanya: “Pamanku, yaitu Anas bin an-Nadhr radhiyallahu anhu tidak mengikuti peperangan Badar, kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak mengikuti pertama-tama peperangan yang Tuan lakukan untuk memerangi kaum musyrikin. Jikalau Allah mempersaksikan saya -menakdirkan saya ikut menyaksikan dan berperang- dalam memerangi kaum musyrikin -pada waktu yang akan datang-, sesungguhnya Allah akan memperlihatkan apa yang akan saya perbuat. Ketika pada hari peperangan Uhud, kaum Muslimin menderita kekalahan, lalu Anas -bin an-Nadhr- itu berkata: “Ya Allah, saya mohon keuzuran -pengampunan- padaMu daripada apa yang dilakukan oleh mereka itu -yang dimaksudkan ialah kawan-kawannya karena meninggalkan tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh Nabi shalallahu alaihi wasalam- juga saya berlepas diri -maksudnya tidak ikut campur tangan- padaMu daripada apa yang dilakukan oleh mereka -yang dimaksudkan ialah kaum musyrikin yang memerangi kaum Muslimin. Selanjutnya iapun majulah, lalu Sa’ad bin Mu’az menemuinya. Anas bin an-Nadhr berkata: “Hai Sa’ad bin Mu’az, marilah menuju syurga. Demi Tuhan yang menguasai Ka’bah (Baitullah), sesungguhnya saya dapat menemukan bau harum syurga itu dari tempat di dekat Uhud.” Sa’ad berkata: “Saya sendiri tidak sanggup melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas itu, ya Rasulullah.” Anas -yang merawikan Hadis ini yakni Anas bin Malik kemanakan Anas bin an-Nadhr- berkata; “Maka kami dapat menemukan dalam tubuh Anas bin an-Nadhr itu delapan puluh buah lebih pukulan pedang ataupun tusukan tombak ataupun lemparan panah. Kita menemukannya telah terbunuh dan kaum musyrikin telah pula mencabik-cabiknya. Oleh sebab itu seorangpun tidak dapat mengenalnya lagi, melainkan saudara perempuannya saja, karena mengenal jari-jarinya.” Anas -perawi hadits ini- berkata: “Kita sekalian mengira atau menyangka bahwasanya ayat ini turun untuk menguraikan hal Anas bin an-Nadhr itu atau orang-orang yang seperti dirinya, yaitu ayat -yang artinya-: “Di antara kaum mu’minin itu ada beberapa orang yang menepati apa yang dijanjikan olehnya kepada Allah,” sampai seterusnya ayat tersebut. (Muttafaq ‘alaih)
Lafaz Layuriannallah, diriwayatkan dengan dhammahnya ya’ dan kasrahnya ra’, artinya: Sesungguhnya Allah akan memperlihatkan yang sedemikian itu -apa-apa yang dilakukannya- kepada orang banyak. Diriwayatkan pula dengan fathah keduanya -ya’ dan ra’nya- dan maknanya sudah jelas -yaitu: Sesungguhnya Allah akan melihat apa-apa yang dilakukan olehnya. Jadi membacanya ialah: Layara-yannallah. Wallahu ‘alam.
Keterangan:
Anas bin an-Nadhr radhiyallahu anhu mengatakan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bahwa dalam peperangan yang pertama yakni perang Badar tidak ikut, kemudian dalam peperangan kedua, yakni perang Uhud ikut menyertai pasukan umat Islam melawan kaum kafirin dan musyrikin. Kemudian ia berkata di hadapan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sebagai janjinya, andaikata ia mengikuti, niscaya Allah akan menampakkan apa yang hendak dilakukan olehnya atau Allah pasti mengetahui apa yang hendak diperbuatnya. Ia mengatakan sebagaimana di atas itu setelah selesai perang Badar dan belum lagi terjadi perang Uhud. Yang hendak diperbincangkan di sini ialah mengenai kata-kata Anas tersebut berbunyi Maa ashna-‘u, artinya: Apa-apa yang akan saya lakukan. Mengapa ia tidak berkata saja: Aku akan bertempur mati-matian sampai titik darah yang penghabisan, sebagaimana yang biasa dikatakan oleh orang-orang di zaman kita sekarang ini. Nah, inilah yang perlu kita bahas sekedarnya. Al-lmam al-Qurthubi dalam mengupas kata-kata Anas radhiyallahu anhu yaitu Maa ashna-‘u itu menjelaskan demikian: Ucapan Sayidina Anas radhiyallahu anhu, juga sekalian para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam selalu mengandung makna yang dalam. Anas radhiyallahu anhu misalnya, dalam menyatakan janjinya akan mengikuti peperangan bila nanti terjadi peperangan lagi dengan hanya mengatakan: Maa ashna-‘u, itu mempunyai kandungan bermacam-macam, umpamanya:
1. Ia tidak memiliki sifat kesombongan dan ketakaburan dan oleh sebab itu tidak mengatakan bahwa ia akan berjuang mati-matian sampai hilangnya jiwa yang dimilikinya dan amat berharga itu. Orang yang sombong itu umumnya tidak menepati janji yang diucapkan. Kadang-kadang baru melihat musuh sudah lari terbirit-birit atau sebelum melihatnya saja sudah tidak tampak hidungnya.
2. Anas radhiyallahu anhu sengaja memperkokohkan ucapannya sendiri dan benar-benar dipenuhi. Diri dan jiwanya akan betul-betul dikurbankan untuk meluhurkan kalimat Allah yakni agama Islam dengan jalan melawan musuh yang sengaja menyerbu negara dan hendak melenyapkan agama yang diyakini kebenarannya itu.
3. Ia hendak berusaha keras memenangkan peperangan dan mencurahkan segala daya dan kekuatannya tanpa ada ketakutan sedikitpun akan tibanya ajal, sebab setiap manusia pasti mengalami kematian, hanya waktunya yang berbeda-beda.
4. Ia takut kalau-kalau apa yang hendak dilakukan nanti itu belum memadai apa yang diucapkan, sebab mengingat bahwa segala gerakan hati dapat saja diubah-ubah oleh Allah Ta’ala. Mungkin hari ini putih, tetapi besoknya sudah menjadi hitam. Itulah yang dikuatirkan olehnya, sehingga semangatnya yang asalnya menyala-nyala, tiba-tiba mengendur tanpa disadari. Selanjutnya setelah terjadi perang Uhud ia menunjukkan perjuangan yang sebenar-benarnya, sampai-sampai terciumlah olehnya bau-bauan dari syurga dan akhirnya ia gugur sebagai pahlawan syahid fisabilillah. Untuk menegaskan janji Anas radhiyallahu anhu inilah Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran: Artinya: “Di kalangan kaum mu’minin itu ada beberapa orang (seperti sahabat Anas) yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah dan sungguh-sungguh memenuhi janjinya itu. Diantara mereka ada yang menemui ajalnya -sebagai pahlawan syahid- dan ada juga yang masih menanti-nantikan -yakni ingin mendapatkan kematian syahid dan oleh sebab itu tidak mundur setapakpun menghadapi musuh. Itulah orang-orang mu’min yang tidak berubah pendiriannya sedikitpun.” (al- Ahzab: 23)
السادس عشر: عن أبي مسعود عُقْبَةَ بن عمروٍ الأنصاريِّ البدريِّ رضي اللَّهُ عنه قال: لمَّا نَزَلَتْ آيةُ الصَّدقَةِ كُنَّا نُحَامِلُ عَلَى ظُهُورِنا. فَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ فَقَالُوا: مُراءٍ، وجاءَ رَجُلٌ آخَرُ فَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ فقالُوا: إنَّ اللَّه لَغَنِيٌّ عَنْ صاعِ هَذَا، فَنَزَلَتْ {الَّذِينَ يَلْمِزُونَ المُطَّوِّعِينَ مِنَ المُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إلاَّ جُهْدَهُمْ} [التوبة 79] الآية. متفقٌ عليه.
«ونُحَامِلُ» بضم النون، وبالحاءِ المهملة: أَيْ يَحْمِلُ أَحَدُنَا على ظَهْرِهِ بِالأجْرَةِ، وَيَتَصَدَّقُ بها.
110. Keenambelas: Dari Abu Mas’ud yaitu ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri radhiyallahu anhu, katanya: “Ketika ayat sedekah turun, maka kita semua mengangkat sesuatu di atas punggung-punggung kita -untuk memperoleh upah dari hasil mengangkatnya itu untuk disedekahkan. Kemudian datanglah seorang lalu bersedekah dengan sesuatu yang banyak benar jumlahnya. Orang-orang sama berkata: “Orang itu adalah sengaja berpamer saja -memperlihatkan amalannya kepada sesama manusia dan tidak karena Allah Ta’ala melakukannya. Ada pula orang lain yang datang kemudian bersedekah dengan barang sesha’ -dari kurma. Orang-orang sama berkata: “Sebenarnya Allah pastilah tidak memerlukan makanan sesha’nya orang ini.” Selanjutnya turun pulalah ayat -yang artinya: “Orang-orang yang mencela kaum mu’minin yang memberikan sedekah dengan sukarela dan pula mencela orang-orang yang tidak mendapatkan melainkan menurut kadar kekuatan dirinya,” dan seterusnya ayat itu -yakni firmanNya: “Lalu mereka memperolok-olokkan mereka. Allah akan memperolok-olokkan para pencela itu dan mereka yang berbuat sedemikian itu akan memperoleh siksa yang pedih.” (at-Taubah: 79) (Muttafaq ‘alaih)
Nuhamilu dengan dhammahnya nun dan menggunakan ha’ muhmalah, artinya ialah setiap orang dari kita sekalian mengangkat di atas punggung masing-masing dengan memperoleh upah dan upah itulah yang disedekahkannya.
السابَع عشر: عن سعيدِ بنِ عبدِ العزيزِ، عن رَبيعةَ بنِ يزيدَ، عن أَبِي إدريس الخَوْلاَنيِّ، عن أَبِي ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ، رضي اللَّهُ عنه، عن النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فيما يَرْوِى عَنِ اللَّهِ تباركَ وتعالى أنه قال: «يا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً فَلاَ تَظالمُوا، يَا عِبَادِي كُلُّكُم ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوني أهْدكُمْ، يَا عِبَادي كُلُّكُمْ جائعٌ إِلاَّ منْ أطعمتُه، فاسْتطْعموني أطعمْكم، يا عبادي كلكم عَارٍ إلاَّ مِنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوني أكْسُكُمْ، يَا عِبَادِي إنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً، فَاسْتَغْفِرُوني أغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوني، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوني، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أوَّلَكُمْ وآخِركُمْ، وَإنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أتقَى قلبِ رجلٍ واحدٍ منكم ما زادَ ذلكَ فِي مُلكي شيئاً، يا عِبَادِي لو أَنَّ أوَّلكم وآخرَكُم وإنسَكُم وجنكُمْ كَانوا عَلَى أفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِركُمْ وَإنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، قَامُوا فِي صَعيدٍ وَاحدٍ، فَسألُوني فَأعْطَيْتُ كُلَّ إنْسانٍ مَسْألَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا َيَنْقُصُ المِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ البَحْرَ، يَا عِبَادِي إنَّما هِيَ أعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ، ثُمَّ أوَفِّيكُمْ إيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمِدِ اللَّه، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إلاَّ نَفْسَهُ». قَالَ سعيدٌ: كان أبو إدريس إذا حدَّثَ بهذا الحديث جَثَا عَلَى رُكبتيه. رواه مسلم. وروينا عن الإمام أحمد بن حنبل رحمه اللَّه قال: ليس لأهل الشام حديث أشرف من هذا الحديث.
111. Ketujuhbelas: Dari Said bin Abdul Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris al-Khawlani dari Abu Zar, yaitu Jundub bin Junadah radhiyallahu anhu dari Nabi shalallahu alaihi wasalam, dalam sesuatu -hadits- yang diriwayatkan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala, bahwasanya Allah berfirman -ini adalah hadits Qudsi: “Hai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan pada diriku sendiri akan menganiaya -berbuat zhalim- dan menganiaya -perbuatan zhalim- itu Kujadikan haram diantara engkau sekalian. Maka dari itu, janganlah engkau sekalian saling menganiaya. Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu tersesat, kecuali orang yang Kuberi petunjuk. Maka itu mohonlah petunjuk padaKu, engkau semua tentu Kuberi petunjuk itu. Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu lapar, kecuali orang yang Kuberi makan. Maka mohonlah makan padaKu, engkau semua tentu Kuberi makanan itu. Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu telanjang, kecuali orang yang Kuberi pakaian. Maka mohonlah pakaian padaKu, engkau semua tentu Kuberi pakaian itu. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya engkau semua itu berbuat kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku inilah yang mengampunkan segala dosa. Maka mohon ampunlah padaKu, pasti engkau semua Kuampuni. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya engkau semua itu tidak dapat membahayakan Aku. Maka andaikata dapat, tentu engkau semua akan membahayakan Aku. Lagi pula engkau semua itu tidak dapat memberikan kemanfaatan padaKu. Maka andaikata dapat, tentu engkau semua akan memberikan kemanfaatan itu padaKu. Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula -awal diciptakan- hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama bersatu padu seperti hati seorang yang paling taqwa dari antara engkau semua, hal itu tidak akan menambah keagungan sedikitpun pada kerajaanKu. Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula -awal diciptakan- hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama bersatu padu seperti hati seorang yang paling curang dari antara engkau semua, hal itu tidak akan dapat mengurangi keagungan sedikitpun pada kerajaanKu. Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula -awal diciptakan- hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama berdiri di suatu tempat yang tinggi di atas bumi, lalu tiap seorang meminta sesuatu padaKu dan tiap-tiap satu Kuberi menurut permintaannya masing-masing, hal itu tidak akan mengurangi apa yang menjadi milikKu, melainkan hanya seperti jarum bila dimasukkan ke dalam laut -jadi berkurangnya hanyalah seperti air yang melekat pada jarum tadi. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya semua itu adalah amalan-amalanmu sendiri. Aku menghitungnya bagimu lalu Aku memberikan balasannya. Maka barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji kepada Allah dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, hendaklah jangan menyesali kecuali pada dirinya sendiri.” Said berkata: “Abu Idris itu apabila menceritakan hadits ini, ia duduk di atas kedua lututnya.” (Riwayat Muslim) Kami juga meriwayatkannya dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan ia berkata: “Tidak sebuahpun hadits bagi ahli Syam yang lebih mulia dari hadits ini.”
Keterangan:
Hadis yang diriwayatkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasalam dan berasal dari Allah semacam hadits di atas ini juga hadits no.11 dan no.95 disebut hadits Qudsi (suci). Bedanya dengan al-Quran ialah kalau al-Quran merupakan mu’jizat sedang hadits Qudsi tidak. Lagi pula hanya melulu membaca saja pada al-Quran itu sudah merupakan ibadah. Yang penting kita perhatikan ialah:
a. Menganiaya itu adalah benar-benar besar dosanya dan doanya orang yang dianiaya itu tidak akan ditolak oleh Allah yakni pasti dikabulkan sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam: “Takutlah pada doanya orang yang dianiaya, sekalipun ia itu kaf’ir karena sesungguhnya saja tidak ada tabir yang menutup antara doa orang itu dengan Allah.”
b. Semua dosa itu dapat diampuni oleh Allah asal kita mohon ampun serta bertaubat kecuali syirik (menyekutukan Allah), sebagaimana dalam al-Quran disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak suka mengampuni kalau Dia disekutukan dengan selainNya dan Dia suka mengampuni yang selain itu pada orang yang dikehendaki olehNya.”
a. Kalau kita taat pada Allah, melakukan semua perintahNya, ini bukan berarti bahwa Allah butuh kita taati. Kita taat atau tidak bagi Allah tetap saja. Maka bukannya kalau kita taat, Allah tambah mulia atau kalau kita ingkar lalu Allah kurang kemuliaanNya. Itu sama sekali tidak. Hanya saja Allah menyediakan tempat kesenangan (syurga) bagi orang yang taat dan tempat siksa (neraka) bagi orang yang ingkar.
b. Orang yang amat taqwa yang dimaksudkan dalam hadits ini ialah Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam dan yang paling curang itu ialah syaitan (setan) sebab syaitan itu dahulunya bernama Izazil dan termasuk dalam golongan jin.
c. Begitu banyaknya air laut, kalau isinya hanya dikurangi oleh jarum yang melekat di situ, maka kekurangan itu tidak berarti sama sekali. Begitulah perumpamaannya andaikata Allah mengabulkan semua permohonan makhlukNya.