Beginilah Cara Hidup dan Harmonisasi Rasulullah dengan Istri-Istrinya
Oleh: Bangun Lubis
Seorang penulis bernama Abad Badruzaman, memberikan sebuah pepatah untuk para suami, “Jika kamu ingin istrimu menjadi seperti Khadîjah, maka jadilah kamu seperti Muhammad untuknya!”
Nabi kita Saw. memang teladan ideal tentang bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan istrinya. Ada suami yang habis-habisan memaki istrinya hanya karena sang istri terlambat menyiapkan makan. Ada lagi suami memukul istrinya cuma karena sang istri tidak membuatkan secangkir teh untuk sang suami. Di tempat lain seorang istri harus rela ditampar suami hanya karena si istri terlalu banyak menambahkan garam pada makanan yang dibuatnya. Hal-hal sepele yang menjadi pertengkaran.
Kejadian-kejadian ini mengabarkan hubungan yang tidak sehat antara suami dan istri. Walaupun pertengkarang kadang memang sebagai salah satu jalan menuju keterikatan yang makin indah diantara keduanya.
Sesungguhnya, untuk keluar dari kemelut rumah-tangga, untuk terbebas dari belitan disharmoni suami-istri, hanya satu solusi yang tersedia. Yaitu meneladani sunnah Nabi dalam mengelola dan menakhodai kehidupan rumah-tangganya. Ucapan, tindakan, serta sikap Nabi dalam membina dan mengelola rumah-tangganya merupakan contoh terbaik bagi para suami, kapan dan di mana pun.
Akhlaq Nabi adalah Al Quran. Rasulullah adalah teladan terbaik.” Rasulullah Saw. adalah seorang suami yang sangat meninggikan kedudukan para istrinya dan amat menghormati mereka. ‘Âisyah bercerita tentang hal ini: “Sekelompok orang Habasyah masuk masjid dan bermain di dalamnya. Ketika itu Rasulullah Saw. berkata kepadaku, “Wahai Humayrâ`, apakah kamu senang melihat mereka?” Aku menjawab, “Ya.” Maka beliau berdiri di pintu rumah. Aku menghampirinya.
Kuletakkan daguku di atas pundaknya dan kusandarkan wajahku ke pipinya. Di antara ucapan mereka (orang-orang Habasyah) waktu itu, ‘Abû al-Qâsim (Rasulullah) orang baik.’ Lalu Rasulullah berkata, “Cukup.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, jangan tergesa-gesa.” Beliau pun berdiri lagi untukku. Kemudian beliau berkata lagi, “Cukup.” Aku berkata, “Jangan tergesa-gesa, ya Rasulullah.” Bukan melihat mereka bermain yang aku suka, melainkan aku ingin para perempuan tahu kedudukan Rasulullah bagiku dan kedudukanku dari beliau.”
Bayangkan seorang istri berdiri di belakang suaminya untuk melindunginya. Kemudian sang istri meletakkan dagunya di pundak sang suami, wajah sang istri menempel di pipi sang suami. Sang istri meminta sang suami berdiri lebih lama untuknya. Mereka berdiri di pintu rumah sambil memerhatikan orang-orang yang sedang bermain di masjid depan rumah.
Kemudian sang istri bertutur, “Sesungguhnya bukan orang-orang yang sedang bermain itu yang menarik perhatianku. Bukan pemandangan itu yang membuatku ingin berlama-lama berdiri di sini bersama suami. Aku hanya ingin para istri tahu kedudukanku bagi suamiku dan kedudukan suamiku bagiku.” Bersama itu, sang suami dengan sabar memenuhi permintaan sang istri terkasih, demi cinta padanya dan guna menjaga perasaannya.
Betapa pun banyak dan beratnya tanggung jawab yang harus dipukul Sang Rasul, beliau tidak pernah lupa akan hak-hak para istrinya. Beliau memperlakukan mereka dengan amat lembut dan penuh kasih. Tidak pernah sedikit pun beliau mengurangi hak mereka. Beliaulah yang dalam salah satu haditsnya bersabda, “Kaum perempuan (para istri) adalah saudara kandung kaum laki-laki (para suami).”
Hadits ini menjadi dalil bahwa beliau tidak pernah menganggap kecil kedudukan para istrinya. Beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang setara dengan beliau dan memposisikan mereka pada posisi yang agung. Bagaimana tidak, pada diri seorang istri tersandang sejumlah predikat mulia: ibu, istri, saudara perempuan, bibi, dan anak perempuan.
Pengakuan di Depan Publik
Pada saat banyak suami menganggap bahwa sekadar menyebut nama istri di depan orang lain dapat mengurangi harga diri, kita mendapati Rasulullah justru menampakkan cintanya pada para istrinya di depan umum. Shafiyah binti Huyay mendatangi Rasulullah saw. sewaktu beliau beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Kemudian ia berbincang dengan beliau beberapa waktu. Ia berdiri untuk pulang. Rasulullah pun ikut berdiri mengantarkan Shafiyah pulang. Ketika Shafiyah dan Rasulullah sampai di depan pintu Ummu Salamah, dua orang Anshâr lewat dan memberi salam kepada Rasulullah. Kepada dua orang Anshâr itu beliau bersabda, “Perhatikanlah baik-baik oleh kamu berdua, dia ini tidak lain Shafiyah binti Huyay.”
Dalam sebuah Hadist diterangkan; “Nabi Saw. adalah suami yang sangat memahami kondisi para istrinya, baik kondisi fisik maupun psikis. Dua kondisi ini dari satu waktu ke lainnya dapat berubah-ubah. Nabi Saw. sangat pandai memahami hal itu terhadap para istrinya. Maymûnah, salah satu istri Nabi, berkata, “Suatu kali Rasulullah mendatangi salah seorang dari kami. Salah seorang dari kami itu sedang haid. Maka beliau meletakkan kepalanya di dada istrinya yang sedang haid itu, lalu beliau membaca al-Qur`an.”
Siti ‘Â`isyah Umm al-Mu`minîn menuturkan kesederhanaan hidup bersama Rasulullah Saw.
“Semenjak datang ke Madinah, keluarga Muhammad tidak pernah makan kenyang dari gandum (roti) selama tiga malam berturut-turut hingga beliau wafat.”
Inilah pemimpin dan penglima besar umat Islam. Beginilah sebaik-baik makhluk itu menjalani hidup ini. Kenikmatan dunia tidak pernah terlintas di benaknya. Kemegahan dunia tidak pernah menjadi cita-citanya. Ia mengambil dari dunia sebatas yang dapat mengantarkannya pada kesejatian hidup dan kebahagiaan negeri akhirat. Untuk menahan lapar, Baginda Nabi acap-kali mengikatkan batu di perutnya sebagai ganjal. (*)