SATUJALAN NETWORK – Diantara sebagain orang belakangan ini ada yang hilang rasa malunya. Contohnya, tidak malu antri beras miskin, padahal mereka bukan termasuk golongan miskin (atau rang tak mampu). Pemandangan yang sering kita lihat, diantara orang-orang yang antri ada yang memarkir motornya di sebelah antrian.
“La bagiaman ini. Kok mengatakan diri miskin, padahal mampu membeli motor seharga Rp 13 juta. Ampun dah, ini kan sudah hilang rasa malunya,”ujar Ade Indra, M.Si, dalam sebuah diskusi kecil waktu lalu.
Masalah rasa tidak malu ini, sudah demikian meluas di kalangan masyarakat. Bukan saja pembagian beras miskin, tetapi kemampuan orang tua untuk menyekolahkan juga sudah mulai terjadi. Bahkan, meminta surat miskin padahal keluarga tersebut masih mampu untuk membiayai sekolah.”Lagi pula sudah ada catatan di keluarahan soal masyarakat tak mampu. Kok yang mampu masih memperoleh surat miskin. Ini melalukan sekali,”ujarnya.
Menyinggung soal rasa malu dengan memanipulasi kondisi kehidupan, kini makin meluas. Bagi sebagian orang persoalan ini, dirasakan sebagai suatu yang biasa. Padahal telah banyak menyalahi, dari segi fakta bahwa dia miskin sudah tidak benar. Banyak jadinya orang terlibat di dalamnya, oknum yang ikut memanipulasi data kemiskinan tentu menjadi soal yang lain pula. Berarti mereka bersama-sama memanipulasi atau berbohoing hanya untuk memperoleh sesuatu yang terkait dengan kepentingannya baiok SPP jika terkait soal anak sekolah, atau beras jika itu menyangkut keluarga.
Tidak ada satu makhluq pun di bumi kecuali Allah yang menjamin rezekinya (QS Hud [11]: 6). Ayat ini “menjamin” siapa yang aktif bergerak mencari rezeki, bukan yang diam menanti. Ada suatu yang memalukan bila kita berkata miskin padahal sebenarnya kita bukan orang miskin.
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr.
Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”
Sebenarnya, kata Ustadz M. Ghazali, di Palembang, malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Malu itu kebaikan seluruhnya.” Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
Allah Azza Wa Jalla Cinta Kepada Orang-Orang Yang Malu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”
Sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Dalam kontek memelihara dusta sebagaimana yang dilakukan sebagian orang, mengatakan miskin, tetapi sesungguhnya dia malas, lalu bersedia antri dalam waktu terntu untuk tujuan yang harusnya tak dilakukan seperti antri mendapat jatah beras, padahal bukan orang miskin, maka ini begitu besar dosanya.
Bahkan, Allah tidak menyukai sikap itu, para sahabat dan Nabi begitu juga dengan Rasulullah SAW, sangat tidak menyukai perbuatan yang tidak memelihara rasa malunya, karena berbohong atau menyebutnya sebagai orang miskin padahal orang itu sanggup dalam menjalankan kehidupannya.