Mengendalikan Diri Dari Keterjerumusan
Pengendalian diri adalah perkara yang sangat penting, mengingat hanya dengan ada pengendalian dirilah seseorang akan dapat mengendalikan hati, pikiran, jiwa, dan raganya sehingga ia akan senantiasa berada dalam keselamatan dan kedamaian
Oleh: H. Bangun Lubis [ Wartawan Satujalan.com ]
Sejalan dengan perjalanan waktu dalam kehidupan yang penuh dengan gelombang permasalahan ini, maka beriringan pula dengan kepedihan, kesedihan dan bahkan merasa diri ini tak berguna. Begitulah ada kalanya diantara kita terjadi dengan tiada diduga dalam waktu dan masa tertentu.
Belum lagi kita melihat akibat dari adanya gangguan dalam jiwa, setan atau nafsu jelek pun ikut berperan dengan peranan yang utama dalam menggoda manusia, sehingga ada yang lupa diri, bahkan menganiaya orang lain. Jangankan orang lain yang jauh, tetapi juga sering kita melihat banyak diantara saudara kita yang sampai menganiaya saudaranya sendiri, anak atau suami, bahkan istri sendiri. Kita menyebut bahwa adakalanya diantara kita tak mampu mengendalikan diri.
Pengendalian diri adalah perkara yang sangat penting, mengingat hanya dengan ada pengendalian dirilah seseorang akan dapat mengendalikan hati, pikiran, jiwa, dan raganya sehingga ia akan senantiasa berada dalam keselamatan dan kedamaian. Dan sebaliknya, tanpa adanya pengendalian diri maka seseorang akan mudah terjatuh ke dalam segala bentuk kecelakaan dan kehinaan.
Dalam Islam, derajat tertinggi manusia adalah orang orang yang bertakwa. Kata takwa sendiri dalam arti bahasa adalah penjagaan diri, yaitu pengendalian diri dari segala hal yang mencelakakan dan menjerumuskan.
Takwa dibarengi dengan iman, Takwa melengkapi iman. Iman harus haqqul yakin ; diucapkan dengan lisan, diyakini dalam hati dan dilakukan dengan perbuatan. Bahwa pengendalian diri itu bisa diaplikasikan apabila manusia sudah memiliki iman dan takwa yang kuat dalam hati, yakin bahwa apapun yang kita lakukan Allah melihat dan tahu, bahkan didalam hati sekalipun. Orang bertakwa akan mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.
Hal ini tecermin dari satu riwayat yang menceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab ra bertanya kepada sahabat Ubai Ibnu Ka’ab ra tentang takwa. Maka, berkatalah Ubai kepada Umar, “Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”
“Ya, Pernah,” jawab Umar. Ubai bertanya lagi, “Apa yang Anda lakukan saat itu?”
Umar menjawab, “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati sekali agar tak terkena duri itu.”Lalu Ubai berkata, “Itulah takwa,” (Riwayat Ibn Katsir).
Allah SWT memang memberikan dua potensi kepada jiwa manusia, yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat jahat. Orang yang beruntung dan selamat adalah orang yang mampu menyucikan dirinya dari potensi jahat tersebut. Dalam arti lain, orang tersebut mampu mengendalikan dan menjaga dirinya dari segala macam godaan dan tipu daya setan.
Sebaliknya, sungguh merugi dan celakalah orang yang tidak bisa melepaskan diri dari potensi buruknya dan justru malah mengotorinya dengan berbagai macam dosa dan maksiat. Allah SWT berfirman, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS al-Syams: 7-10).
Bentuk-bentuk kejadian yang disebutkan di atas adalah gambaran dari tidak adanya pengendalian diri dari para pelakunya. Seseorang tidak mungkin akan tega menganiaya, memperkosa, atau membunuh orang lain, apa pun alasannya, kalau dia masih bisa mengendalikan dirinya. Dan, ingatlah menahan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat kebaikan di muka bumi adalah ciri orang yang bertakwa dan imbalannya adalah ampunan dan surga-Nya (QS Ali Imran: 133-134).
Sedikit cerita tentang apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dalam perang Khandaq. Bersama Rasulullah Saw dan para sahabat ketika perang Khandaq, seorang Quraisy yang kala itu ditakuti orang musyrikin Quraisy, Amr bin Abdul Wad Al-Amiri. Ia menantang umat Islam untuk “duel” dengannya. Ketika ditawarkan kepada sahabat, tidak ada satu orang sahabat pun yang berani melawannya kecuali Ali bin Abi Thalib yang masih muda belia. Tentu saja Amr akan meremehkan Ali bin Abi Thalib.
Terjadilah duel antara keduanya, hingga Amr pun akhirnya terpojok. Justru Ali yang dilecehkan berhasil memenangkan pertandingan duel itu, sedikit saja lagi Ali akan memenggal kepala Amr, tetapi Ali bin Abi Thalib tidak melakukannya. Dalam suasana seperti itu Amr masih sempat meludahi wajah Ali, namun justru Ali diam dan tidak membalas. Mengapa Ali tidak membalas ketika itu? Karena pada waktu itu Ali sangat marah, dan dia tidak mau membunuh orang pada saat situasi marah.
Inilah kontrol diri yang luar biasa! Ali bin Abi Thalib tidak mau melakukan pembunuhan itu pada saat marah. Tetapi dia ingin menghabisi Amr dalam situasi saat dia tenang dan bersama Allah Swt. Situasinya tenang dan dia membunuh karena Allah, bukan karena marah. Maka dalam situasi seperti ini, kita melihat betapa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat mampu mengendalikan diri. Maka pengendalian diri ini kemudian membawa penghargaan yang besar kepada kita. Kalau kita mampu mengendalikan diri agar tetap berada di jalan hukum Allah dan norma-norma yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Ini memang tidak mudah, self control adalah bagian dari apa yang kita upayakan. Untuk kita mampu senantiasa mengendalikan diri pada derajat kepatuhan yang baik kepada Allah Swt.
Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ Ayat 59;Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kemudian lainnya firman Allah SWT, “Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikuti aku. Niscaya, kamu akan dicintai Allah dan diampuni dosa-dosamu.” (QS Ali Imran [3]: 31).