“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
Dasar jalan ini ada tiga: jihad fisik, jihad harta, ataupun keduanya.
Jihad fisik adalah semua perbuatan fisik ini menunaikan ketaatan kepada Allah, seperti shalat, puasa, jihad melawan orang kafir, dan sebagainya. Jihad harta misalnya mengeluarkan zakat, sedekah, nafkah dan sebagainya. Jihad dengan keduanya, misalnya jihad fisabililah menggunakan senjata melawan orang-orang kafir, mengorbankan harta dan jiwa. Macam-macam ketiga dasar ini sangat banyak sekali, mencakup semua ketaatan kepada Allah Ta’ala, agar hamba tidak bosan menunaikan satu jalan menuju ketaatan, ketika jalan itu banyak tentunya tidak bosan dan merasakan nikmat menunaikan kebaikan.
[Shahih Muslim no. 966]
Tetapi sekarang orang shalat berdasarkan dengan tulisan, shalat mereka semua tidak sah, menurut pendapatnya shalat kaum muslimin semua tidak sah, sampai sekacau inikah pemikiran mereka?!
Yang sangat disayangkan orang yang mengatakan ini adalah orang yang dianggap berilmu, kerana ilmunya hanya menempel ijazah yang membuktikan bahwa ia lulusan universitas ini dan itu.
Kesimpulannya bahwa, umat Islam sekarang ini memerlukan para ulama yang mendalam keilmuannya, jika kondisi mereka masih kacau seperti ini maka sangat berbahaya bagi agama dan umat ini, masing-masing memiliki seorang ulama yang dikultuskan, tentunya hal ini tidak dibenarkan, mereka harus memiliki para ulama yang memiliki ilmu yang mendalam berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah, memiliki kecerdasan yang dibingkai dalam hikmah.
Hadits-hadits dalam bab ini sangat banyak, di antara yang disebutkan oleh penulis rahimahullah.
Hadits 117.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ جُنْدَبِ بْنِ جُنَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله، أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: « اْلإِيْمَانُ بِاللَّهِ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيْلِهِ » قُلْتُ: أَيُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: « أَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا، وَأَكْثَرُهَا ثَمَنًا » قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ أَفْعَلْ ؟ قَالَ: « تُعِيْنُ صَانِعًا أَوْ تَصْنَعُ لِأَخْرَقَ » قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ ضَعُفْتُ عَنْ بَعْضِ الْعَمَلِ؟ قَالَ: « تَكُفُّ شَرَّكَ عَنِ النَّاسِ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ مِنْكَ عَلَى نَفْسِكَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Dzar Jundab bin Junadah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling utama?”
Baginda bersabda, “Beriman kepada Allah dan jihad fisabilillah.”
Aku bertanya, “Budak (hamba sahaya) seperti apakah yang paling utama untuk dimerdekakan?”
Baginda bersabda, “Budak yang paling dicintai oleh tuannya dan termahal harganya.”
Kemudian aku bertanya lagi, “Jika aku tidak mampu melakukannya?”
Baginda bersabda, “Engkau membantu orang yang fakir atau orang yang tidak mampu bekerja.”
Aku bertanya lagi, “Bagaimana jika aku tidak mampu untuk menunaikan sebagian pekerjaan?”
Baginda bersabda, “Engkau menahan diri untuk tidak berbuat kejahatan kepada sesama manusia, kerana sesungguhnya yang demikian itu merupakan sedekah darimu untuk dirimu sendiri.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2518. Muslim no. 84]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini “Bab banyaknya jalan kebaikan” riwayat dari Abu Dzar Jundab bin Junadah radhiyallahu anhu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling utama?”
Baginda bersabda, “Beriman kepada Allah dan jihad fisabilillah.” Para sahabat radhiyallahu anhum bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk diamalkan, bukan seperti kebanyakan generasi setelahnya bertanya tentang amal yang paling utama, tetapi bukan untuk diamalkan.
Inilah potret sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Baginda bersabda, “Shalat tepat pada waktunya.” Kemudian apa lagi?” Baginda bersabda, “Berbuat baik kepada orang tua.” Kemudian apa lagi?” Baginda bersabda, “Jihad di jalan Allah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 7534. Muslim no. 85]
Begitu juga Abu Dzar radhiyallahu anhum bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang paling utama, kemudian baginda menjelaskan bahwa amalan yang paling utama adalah, beriman kepada Allah dan jihad fisabilillah, kemudian ia bertanya tentang budak (hamba sahaya) yang paling utama dimerdekakan, kemudian baginda bersabda, “Yang paling dicintai oleh tuannya dan termahal harganya.” Memerdekakan budak seperti ini tentunya tidak ada yang mampu menunaikannya kecuali orang yang kuat imannya. Misalnya seseorang memiliki banyak budak, salah satunya rajin dan sangat bermanfaat untuk tuannya disamping itu ia juga mahal harganya, manakah yang lebih utama untuk dimerdekakan? Tentunya budak inilah yang lebih utama untuk dimerdekakan, kerana budak itu paling disayangi oleh tuannya dan hartanya termahal, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, begitu firman Allah Ta’ala,
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Âli ‘Imrân: 3: 92)
Inilah Ibnu Umar radhiyallahu anhuma setiap kali ia memiliki suatu harta dan mulai mencintainya maka ia menyedekahkannya, kerana mengikuti ayat ini.
Ketika turun ayat ini,
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Âli ‘Imrân: 3: 92)
Abu Thalhah radhiyallahu anhu datang mengadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan firman-Nya, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Dan harta yang paling saya cintai adalah Buraiha, kebun yang bersih dekat masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mendatangi kebun itu untuk minum airnya yang segar, -seperti inilah kebanyakan sahabat- “Saya menyedekahkanya untuk Allah dan rasul-Nya, maka distribusikanlah sekehendakmu wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh, Bakh.” Baginda takjub seraya bersabda, “Harta yang menguntungkan, harta yang beruntung!” Kemudian melanjutkan sabdanya, “Menurutku engkau sedekahkan untuk karib kerabatmu.” Kemudian Abu Thalhah membagikannya kepada kerabatnya.
[Shahih Al-Bukhari no. 1367, 2562 Muslim no. 1664]
Pelajaran yang dapat kita petik bahwa para sahabat itu berlomba-lomba dalam kebaikan.
Kemudian Abu Dzar radhiyallahu anhu bertanya, “Bagaimana kalau tidak mampu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Kamu membantu orang yang fakir atau orang yang tidak mampu bekerja.”
Membantu mereka untuk meringankan bebannya, kerana yang demikian termasuk sedekah dan amal shalih.
Kemudian ia bertanya, “Bagaimana jika aku tidak mampu untuk menunaikan sebagian pekerjaan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau menahan diri untuk tidak berbuat kejahatan kepada sesama manusia, kerana sesungguhnya yang demikian itu merupakan sedekah darimu untuk dirimu sendiri.” Inilah tingkatan amal shalih yang paling rendah, menahan kejahatan dirinya agar orang lain selamat darinya.
Hadits 118.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يُصْبِِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وكُلُّ تَهْلِيْلَهٍ صَدَقَةُ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقََةٌ. وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Dzar radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap pagi dari persendian setiap anggota tubuh salah seorang dari kalian (harus dikeluarkan) sedekahnya. Setiap tasbih ucapan (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (Laa Ilaha Illallah) adalah sedekah, setiap takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah. Memerintahkan kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah dari yang mungkar juga sedekah. Dan semua itu sudah memadai dengan menunaikan shalat Dhuha sebanyak dua rakaat.”
[Shahih Muslim no. 720]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Dzar radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada setiap pagi dari persendian anggota tubuh salah seorang dari kalian (harus dikeluarkan) sedekahnya,” maksudnya setiap datang pagi hari setiap orang itu wajib sedekah untuk setiap anggota tubuh dan setiap ruas tulangnya.
Para ahli mengatakan bahwa setiap orang itu memiliki tiga ratus enam puluh ruas tulang, baik besar hingga yang kecil. Berarti ia wajib mengeluarkan tiga ratus enam puluh sedekah. Tetapi sedekah ini bukan terbatas dengan harta, semua pintu kebaikan adalah sedekah baginya, setiap tahlil, takbir, memerintahkan yang baik, mencegah yang mungkar dan setiap amalan yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala baik ucapan mahupun perbuatan, adalah sedekah, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya jika kamu membantu seseorang menaiki kenderaannya atau mengangkat barang di atasnya, maka itu merupakan sedekah.”
[Shahih Muslim no. 1677]
Semua amal shalih itu sedekah, membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu, dengan demikian ia telah banyak sedekah bahkan mencapai jumlah ini, yaitu tiga ratus enam puluh.
“Dan semua itu sudah memadai dengan menunaikan shalat dhuha sebanyak dua rakaat.” Yaitu jika kita menunaikan dua rakaat shalat dhuha maka telah memenuhi kewajiban banyak sedekah ini, inilah kemudahan dari Allah Ta’ala untuk hamba-Nya.
Hadits ini sebagai dalil bahwa dua rakaat shalat Dhuha itu hukumnya sunnah dikerjakan setiap hari, kerana jika setiap hari kita wajib bersedekah sejumlah ruas tulang ini, maka dua rakaat shalat Dhuha ini memenuhinya, dengan demikian hendaknya shalat Dhuha ini ditunaikan setiap hari untuk memenuhi kewajiban sedekah ini.
Para ulama mengatakan bahwa waktu shalat Dhuha itu dimulai sejak matahari mulai naik sekitar satu tombak, yaitu sekitar seperempat atau sepertiga jam setelah terbit matahari sampai sebelum tergelincir sekitar sepuluh minit, jeda ini adalah waktu shalat Dhuha boleh ditunaikan di dalamnya, tetapi yang utama ditunaikan pada akhir waktu, dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Shalat awwabin (Dhuha) adalah ketika anak unta merasa kepanasan.”
[Shahih Muslim no. 1237, 1238]
Dengan demikian mengakhirkan shalat Dhuha itu lebih utama daripada menunaikannya pada awal waktu, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali jika ada hal-hal yang memberatkan.
Kesimpulannya bahwa Allah Ta’ala telah membuka banyak pintu kebaikan, semua amal yang ia tunaikan ini akan mendapat kebaikan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat bahkan lebih dari itu sekehendak Allah Ta’ala.
Hadits 119.
عَنْه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنَ أَعْمَالِهَا اْلأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِىِءِ أَعْمَالِهَا النَّخَاعَةُ تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ لَا تُدْفَنُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada (Abu Dzar) radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua amalan umatku diperlihatkan padaku baik itu yang baik mahupun yang buruk, aku mendapatkan di antara kebaikannya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan dan aku mendapatkan antara keburukannya adalah ingus yang dibiarkan di masjid tanpa dikubur atau dibersihkan.”
[Shahih Muslim no. 553]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Dzar radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua amalan umatku diperlihatkan padaku baik itu yang baik mahupun yang buruk.” Maksudnya Allah Ta’ala yang memperlihatkan dan menjelaskan semua amalan ini, kerana Dialah yang berhak mengharamkan dan mewajibkan amalan hamba.
Allah Ta’ala memperlihatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kebaikan dan keburukan amalan umat ini, di antara kebaikannya adalah “Menyingkirkan gangguan dari jalan,” yaitu menyingkirkan semua yang mengganggu orang ramai yang lewat di jalan, seperti dahan pokok jatuh, duri, kaca, batu dan setiap benda yang menggangu orang yang berjalan, maka amalan ini termasuk amal shalih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyingkirkan sesuatu yang menggangu dari jalan itu merupakan amal shalih dan mendapatkan pahala sedekah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya iman itu terbagi menjadi tujuh puluh lebih bagian, yang tertinggi adalah ucapan “Laailaaha Illallah” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang menggangu dari jalan dan rasa malu itu sebagian dari iman.”
[Shahih Al-Bukhari no. 8. Muslim no. 51]
Oleh kerana itu jika kita melihat sesuatu yang menggangu di jalan maka hendaknya kita menyingkirkannya, kerana yang demikian itu termasuk amal shalih, sedekah, dan sebagian dari keimanan kita.
Jika perbuatan ini termasuk kebaikan dan sedekah maka meletakkan sesuatu yang mengganggu jalan termasuk amal keburukan, orang yang suka membuang sampah di jalan atau di jalanan pasar atau dimana-mana tempat yang tidak sepatutnya, tentunya mereka telah menyakiti dan mengganggu orang lain yang berjalan dan termasuk perbuatan yang berdosa, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 58)
Sebagian ulama mengatakan jika ada seseorang atau bahkan haiwan yang terjatuh kerananya maka orang yang membuangnya bertanggungjawab, ia wajib membayar diyat atau denda jika tidak mampu. Yang penting bahwa hal ini termasuk perbuatan yang menyakiti kaum muslimin.
Begitu pula membuang air ke jalanan di pasar-pasar tentunya mengganggu orang lain, ketika mobil lewat mengotori pakaian orang yang lewat disampingnya, atau merusak aspal jalan kerana mengikisnya.
Hal ini sangat menyedihkan, kita umat Islam tetapi tidak menghiraukan masalah yang penting ini, seolah tidak merasa berdosa, membuang sampah di pasar-pasar, membuang pecahan kaca, ranting pepohonan atau bahkan membuang batu besar di jalanan, seolah tidak merasa bersalah. Oleh kerana itu kita dianjurkan menjaga kebersihan dan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu jalan setiap kali kita melihatnya, kerana ia termasuk amal shalih.
“Dan aku mendapatkan antara keburukannya adalah ingus yang dibiarkan di masjid tanpa dikubur atau dibersihkan.” Di masjid terdapat dahak kerana pada zaman Rasulullah, lantai masjidnya berupa pasir dan jika terdapat dahak cukup di kubur, sedangkan sekarang lantainya sudah tidak berupa tanah, jika terdapat kotoran seperti itu hendaknya di ambil dengan tisu. Walaupun demikian mengeluarkan dahak meludah di masjid, hukumnya haram, barangsiapa yang melakukannya ia berdosa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah di masjid adalah suatu dosa, dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan dikubur (dibersihkan) ludah tersebut.”
[Shahih Al-Bukhari no. 40 Muslim no. 1006]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan orang yang melakukannya adalah bersalah dan kafarat kesalahannya adalah menguburkannya (membersihkan), maksudnya pelakunya jika ingin bertaubat cukup dengan menguburkannya, tetapi sekarang cukup di lap dengan sapu tangan atau tisu. Jika ini adalah dahak apalagi dengan yang lebih besar dari itu, seseorang yang masuk masjid dengan sepatunya tanpa memeriksanya terlebih dahulu apakah ada kotoran sehingga mengotori masjid, tentunya hal ini lebih besar daripada dahak atau ludah.
Di antaranya juga ada orang yang meludah dalam tisu kemudian di buang di masjid, tentu hal ini mengganggu orang lain kerana setiap orang melihatnya merasa jijik apalagi di rumah Allah, jika menyimpannya di saku sehingga ketika keluar dari masjid dibuang pada tempatnya akan lebih baik dan tidak mengganggu orang lain.
Hadits 120.
عَنْهُ: أَنَّ نَاسًاقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ، يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّى، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ: « أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ بِهِ: إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَحْمِيْدَّةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْىٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ » قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ، وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟، قَالَ: « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada (Abu Dzar) radhiyallahu anhu ia berkata, “Beberapa orang (sahabat) pernah menyampaikan keluhan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami juga shalat, berpuasa sebagaimana kami puasa, tetapi mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian untuk sedekah?” Sesungguhnya setiap tasbih (Subhanallah) itu sedekah, setiap takbir (Allahu akbar) itu sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah), itu sedekah, setiap tahlil (Laa Ilaha Illallah) itu sedekah. Menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah dan bersetubuh (dengan isteri) juga adalah sedekah.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan dia mengikuti syahwatnya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram dia berdosa?” Maka demikian pula apabila dia menempatkan syahwatnya itu pada yang halal, dia akan mendapat pahala.”
[Shahih Muslim no. 1006]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Dzar radhiyallahu anhu bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala yang banyak.” Maksudnya mereka lebih banyak mendapatkan pahala dari kami, “Mereka shalat sebagaimana kami juga shalat, berpuasa sebagaimana kami puasa, tetapi mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Maksudnya kami dengan mereka sama-sama mengerjakan ibadah shalat, puasa tetapi mereka lebih banyak pahala sedekah harta yang Allah kurniakan, sementara kami tidak mampu berbuat demikian.
Hal ini senada dengan ungkapan para sahabat yang fakir muhajirin, “Orang-orang kaya mampu memerdekakan budak (hamba sahaya) tetapi kami tidak mampu.” Mari kita renungkan sikap para sahabat yang memiliki semangat yang tinggi ini, mereka iri jika tidak mampu menyedekahkan harta seperti orang-orang kaya yang menyedekahkan harta dan memerdekakan budak, tidak mengatakan “mereka bergelimang dengan harta, memiliki kenderaan mewah, tinggal di istana, berpakaian indah,” tetapi mereka adalah kaum yang lebih memprioritaskan kehidupan yang abadi yaitu akhirat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.” (QS. Adh-Dhuhâ: 93: 4)
Para sahabat protes kepada Rasulullah kerana ketamakan mereka terhadap kebaikan bukan kerana iri dengki atau kerana tidak menerima takdir Allah Ta’ala, tetapi mereka memohon karunia dari orang-orang kaya yang dengan leluasa menyedekahkan harta mereka.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian untuk sedekah?” Maksudnya jika kalian tidak mampu bersedekah dengan harta, maka ada sedekah lain dengan amal shalih, “Sesungguhnya setiap tasbih, takbir dan tahmid adalah sedekah, juga menyuruh pada kebaikan, mencegah berbuat kemungkaran.” Kita telah membahas empat hal yang pertama.
Adapun, “Juga menyuruh pada kebaikan dan mencegah berbuat kemungkaran.” Kerana perbuatan ini adalah sebaik-baik sedekah dan Allah mengutamakan umat ini atas umat yang lainnya dengan hal itu, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (kerana kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
(QS. Âli ‘Imrân: 3: 11)
Amar makruf dan nahi mungkar ini memiliki beberapa syarat:
1. Pelakunya perlu memahami syariat Islam. Seseorang yang tidak memahami syariat tidak boleh berbicara mengenai agama, kerana ia berbicara atas nama agama, maka tidak diperbolehkan berbicara tanpa dasar ilmu agama.
Allah mengharamkan hal itu dalam Al-Qur’an,
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kerana pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isrâ: 17: 36)
kerana salah satu bentuk kemungkaran adalah mengatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk tanpa mengetahui dasarnya.
2. Mengetahui bahwa orang yang diajaknya itu benar-benar melanggar perintah Allah atau mengabaikan perintah-Nya, kalau tidak mengetahui maka tidak boleh melakukannya kerana ia termasuk dalam firman Allah ini, yaitu mengikuti sesuatu yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya,
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kerana pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isrâ: 17: 36)
Sesetengah orang yang memiliki semangat tinggi untuk amar makruf dan nahi mungkar terburu-buru mengingkari kemungkaran tanpa mengetahui kondisi objek dakwahnya. Misalnya, seseorang yang melihat orang yang sedang berduaan dengan seorang wanita di tempat awam, tidak berfikir panjang ia langsung menegurnya, “Kenapa ia bersama seorang wanita.” Tidak berfikir terlebih dahulu mungkin saja wanita itu adalah mahramnya, tindakan ini merupakan kesalahan besar bagi seorang da’i, jika kira-kira meragukan maka bertanyalah terlebih dahulu, tetapi jika tidak maka jangan berbicara.
Mari kita lihat sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana baginda bersikap dalam masalah ini, pada hari Jum’at, ada seseorang yang masuk masjid ketika Rasulullah sedang berkhubah, tiba-tiba orang itu langsung duduk kemudian baginda bertanya, “Apakah kamu telah shalat?” Ia menjawab, “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berdirilah dan shalat dua rakaat yang pendek.”
[Shahih Muslim no. 1449]
Baginda tidak menegurnya, “Kenapa kamu duduk?”
Kerana seseorang yang masuk masjid itu dilarang duduk sebelum shalat dua rakaat (Tahiyatul Masjid), bila-bila saja masuk masjid baik pagi, petang, sehabis Ashar, setelah Maghrib, setelah fajar hendaknya shalat dua rakaat terlebih dahulu. Orang ini datang langsung duduk tetapi kemungkinan ia telah shalat sebelumnya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melihatnya, oleh kerana itu baginda bertanya, “Apakah kamu telah shalat?” Kemudian baginda bersabda dengan sabdanya ini, “Berdirilah dan shalatlah dua rakaat pendek.” Baginda tidak memerintahkannya untuk berdiri dan menunaikan shalat sebelum bertanya terlebih dahulu, inilah sikap bijak dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Tindakannya tidak mengakibatkan perbuatan yang lebih mungkar darinya, jika kemungkinan terjadi demikian maka ia menahan tindakannya kerana termasuk mengambil tindakan yang lebih ringan akibat keburukannya. Misalnya seseorang yang merokok, kalau kita larang ia akan meminum khamer, maka lebih baik kita tidak melarangnya jika kita mengetahui demikian, kerana merokok itu lebih ringan daripada minum khamer, dalilnya firman Allah Ta’ala,
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, kerana mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’âm: 6: 108)
Mencaci tuhan orang-orang musyrik itu disyariatkan, tetapi jika hal itu mengakibatkan mereka mencaci Allah Ta’ala Tuhan Yang Mahamulia maka dilarang, oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah mengutuk orang yang mengutuk orang tuanya.”
[Shahih Muslim no. 1978]
Dan sabdanya yang lain,
“Termasuk dosa besar adalah seseorang yang mencaci maki kedua orang tuanya.” Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang bisa mencaci maki kedua orang tuanya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Benar. Seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain tersebut mencela bapaknya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ibunya.”
[Shahih Muslim no. 90]
Kesimpulannya bahwa amar makruf dan nahi mungkar itu hendaknya tidak mengakibatkan yang lebih mungkar darinya, untuk menjaga agar tidak terjadi kemungkaran yang lebih besar.
Di samping itu pelaku amar makruf dan nahi mungkar wajib memiliki niat untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk bangga-banggaan, kerana sesetengah orang melakukannya dengan tujuan untuk mendapat kekuasaan, ini adalah kesalahan besar, bisa jadi ia dapat meredam kemungkaran tetapi tidak banyak bermanfaat baginya. Jika kalian ingin amar makruf dan nahi mungkar maka pertama-tama luruskanlah niat untuk kemaslahatan umat, bukan tujuan popularitas dan menguasai mereka, sehingga Allah mencurahkan keberkahan kepada kalian.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersetubuh (dengan isteri) juga adalah sedekah.” Yaitu seseorang yang bersetubuh dengan isterinya bernilai sedekah baginya. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan dia mengikuti syahwatnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram dia berdosa?” Misalnya berzina menyalurkannya syahwatnya pada yang haram apakah mendapatkan dosa? Mereka menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka demikian pula apabila dia menempatkan syahwatnya itu pada yang halal, dia akan mendapat pahala.” Alhamdulillah, artinya jika seseorang itu merasa cukup dengan yang dihalalkan Allah, maka baginya pahala dengan sikap sabarnya itu.
Begitu pula seseorang yang makan dan minum yang halal, maka ia juga mendapatkan pahala darinya, kerana ia bersabar dengan merasa cukup dengan halal, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Saad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, “Ketahuilah bahwa kamu tidak akan menginfakkan harta sedikit pun yang bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah kecuali kamu akan mendapatkan pahalanya, bahkan nafkah yang kamu berikan kepada isterimu.”
Padahal nafkah yang di berikan kepada isteri dan keluarganya adalah kewajibannya. Dengan demikian seorang isteri boleh menuntut cerai kepada suami jika tidak memberinya nafkah sementara ia mampu, kerananya jika suami memberi nafkah kepada isteri dengan ikhlas mencari ridha Allah, maka ia mendapatkan pahala.
Dalam hadits ini terdapat pelajaran yang dikenal di kalangan ulama dengan ‘qiyas terbalik’ yaitu menetapkan sesuatu hukum kebalikan dengan hukum asal kerana perbedaan illah. Illah dalam hadits ini adalah seseorang mendapat pahala jika berhubungan badan dengan isterinya, yaitu menyalurkan syahwatnya pada yang halal, kebalikan illah ini adalah menyalurkan syahwatnya pada yang haram hukumnya berdosa. Inilah yang disebut para ulama dengan qiyas terbalik, kerana qiyas itu bermacam-macam: qqiyas illah, qiyas dilalah, qiyas syabah, qiyas ‘aks (terbalik).
Semoga Allah selalu menunjukki kita.
Hadits 121.
عَنْهُ قَالَ: قَالَ لِى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بَوَجْهٍ طَلِيْقٍ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada (Abu Dzar) radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah sekali-kali meremehkan suatu kebaikan, walaupun hanya melemparkan senyuman kepada saudaramu ketika bertemu.”
[Shahih Muslim no. 2626]
Hadits 122.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كُلُّ سُلَامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ: تَعْدِلُ بَيْنَ الاِثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ، فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خَطْوَةٍ تَمْشِيْهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيْطُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَرَوَاه مُسْلِم أَيْضًا مِنْ رِوَايَةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إنْسَانٍ مِنْ بَنِي آدَمَ عَلَى سِتِّيْنَ وَثَلَاثُمِائَةِ مَفْصِلٍ، فَمنْ كَبَّر اللهَ، وَحَمِدَ اللهَ، وَهَلَّلَ اللهَ، وَسَبَّحَ اللهَ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ، وَعَزَلَ حَجَرًا عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ أوْ شَوْكَةً أَوْ عَظْمًا عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ، أَوْ أَمَرَ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نهَى عَنْ مُنْكَرٍ، عَدَدَ السِّتِّينَ وَالثَّلَاثُمِائَةٍ، فَإِنَّهُ يُمْسِي يَوْمَئِذٍ وَقَدْ زَحْزَحَ نَفْسَهُ عَنِ النَّارِ .
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bagi setiap ruas persendian tubuh manusia harus dikeluarkan sedekah, pada setiap hari selama matahari terbit. Berbuat adil pada dua orang yang berselisih adalah sedekah, membantu seseorang menaiki kenderaannya atau membantu menaikkan barangnya adalah sedekah, perkataan yang baik adalah sedekah dan setiap langkah yang digunakan menuju (masjid) untuk shalat adalah sedekah dan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu jalan adalah sedekah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2989. Muslim no. 1009]
Dalam riwayat Muslim daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap anak Adam itu diciptakan memiliki tiga ratus enam puluh ruas tulang (persendian), maka barangsiapa yang bertakbir (Allahu akbar), bertahmid (Alhamdulillah), bertahlil (Laa Ilaha Illallah), bertasbih (Subhaanallah), beristighfar (Astaghfirullah), menyingkirkan sesuatu dari jalan, memerintahkan yang baik dan mencegah kemungkaran (semuanya dilakukan) sehingga genap tiga ratus enam puluh kali, maka pada hari itu ia telah menjauhkan dirinya dari neraka.”
[Shahih Muslim no. 1007]
Hadits 123.
عَنْه عَنِ النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ، أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلًا كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada (Abu Hurairah) radhiyyallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang pergi ke masjid di pagi mahupun petang hari, maka Allah menyediakan baginya hidangan di surga setiap kali dia pergi di pagi atau petang hari.”
[Shahih Al-Bukhari no. 662. Muslim no. 669]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebut hadits ini yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah radhiyyallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke masjid di pagi hari mahupun petang hari,” pergi ke masjid pada pagi hari untuk menunaikan shalat subuh berjemaah. Dan kata “Raaha” artinya setelah matahari tergelincir yaitu untuk menunaikan shalat Zhuhur dan Ashar. Kata ini khusus untuk pergi saja, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyyallahu anhu, “Barangsiapa yang mandi hari Jum’at kemudian ia pergi ke masjid pada awal waktu,” yaitu berangkat ke masjid pada awal waktu, tetapi jika kata “raha” digabung dengan kata “ghaada” artinya adalah awal dan akhir hari.
Secara zahir hadits ini bahwa setiap orang yang berangkat ke masjid pada awal atau akhir siang untuk menunaikan shalat atau menuntut ilmu atau untuk maksud yang baik, maka Allah akan menyediakan hidangan baginya di surga sebagai penghormatan baginya. Hadits ini juga menjelaskan bahwa orang yang berangkat ke masjid baik pada pagi atau petang hari akan mendapat pahala yang agung. Ini merupakan kurnia Allah Ta’ala untuk hamba-Nya, hanya dengan menunaikan amal yang sederhana ini mendapat pahala yang luar biasa.
Hadits 124.
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada (Abu Hurairah) radhiyyallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai kaum muslimah! Janganlah sekali-kali seorang tetangga merasa rendah untuk memberi sedekah kepada tetangganya, walaupun hanya berupa kikil kambing!”
[Shahih Al-Bukhari no. 2566, 6017. Muslim no. 1030]
Penjelasan.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah sekali-kali seorang tetangga merasa rendah untuk memberi sedekah kepada tetangganya, walaupun hanya berupa kikil kambing!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi memotivasi kepada kita untuk memberikan hadiah kepada tetangga walaupun dengan sesuatu yang kecil, kikil kambing tentunya sesuatu yang remeh, tetapi baginda bersabda jangan sampai meremehkan kebaikan walaupun sangat sedikit, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiyyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kamu memasak masakan yang berkuah maka perbanyaklah kuahnya dan bagikan ke tetanggamu!”
[Shahih Muslim no. 4758]
Bahkan sampai kuah masakan, jika kita membagikannya kepada tetangga akan mendapat pahala. Begitu pula bersikap ramah ketika bertemu dengan sahabat kita, jangan sampai meremehkan kebaikan walaupun menemui saudara dengan wajah yang ceria, kerana hal ini termasuk perbuatan yang makruf, tidak menampakkan wajah yang murung, kerana akan membuatnya bahagia, setiap yang membuat saudara kita bahagia merupakan perbuatan baik dan mendapat pahala, dan setiap yang membuat orang kafir marah adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan.” (QS. At-Taubah: 9: 120)
Hadits 125.
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شَعْبَةً: فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ « مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Iman itu mempunyai tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan “laa ilaaha illallah” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, sedangkan perasaan malu itu termasuk salah satu cabang dari iman.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6. Muslim no. 57]
Penjelasan.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Iman itu mempunyai tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan “laa ilaaha illallah” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, sedangkan perasaan malu itu termasuk salah satu cabang dari iman.” Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman itu tidak hanya satu cabang, tetapi memiliki banyak cabang, bahkan sampai tujuh puluh lebih, yaitu antara tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan cabang, tetapi cabang yang paling utama adalah ucapan “laa ilaaha illallah,” kerana kalimat ini bila ditimbang dengan langit dan bumi pasti lebih berat, kerana merupakan kalimat tauhid dan kalimat ikhlas, kalimat yang kita semua berharap sebagai penutup usia, barangsiapa yang akhir perkataannya di dunia adalah kalimat ini maka ia masuk surga, kalimat ini adalah cabang iman yang paling utama.
“Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan,” yaitu menghilangkan setiap yang mengganggu orang yang berjalan, seperti batu, pecahan kaca, duri dan sebagainya.
Jika kita menyingkirkannya maka itu termasuk keimanan. “Sedangkan perasaan malu itu termasuk salah satu cabang dari iman.” Dalam hadits yang lain disebutkan, “Rasa malu itu bagian dari iman,” rasa malu adalah kondisi kejiwaan yang muncul ketika mengerjakan sesuatu yang dianggap memalukan, ini termasuk sifat yang terpuji yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan baginda lebih pemalu dari gadis pingitan, tetapi baginda tidak malu untuk menunaikan kebenaran. Rasa malu adalah sifat terpuji, tetapi bukan malu untuk menunaikan kebenaran. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.”
(QS. Al-Ahzâb: 33: 53)
“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 2: 26)
Tidak malu mengerjakan yang benar, selain kebenaran sifat malu itu merupakan sifat yang terpuji. Sebaiknya orang yang tidak kenal rasa malu, tidak pernah peduli dengan ucapan dan tindakannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya di antara yang didapatkan oleh orang-orang pada masa kenabian sejak dahulu kala adalah “Jika kamu tidak merasa malu maka buatlah sesuka hatimu!”
[Shahih Al-Bukhari no. 3483]
Hadits 126.
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيْقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ، ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبُ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلَ الَّذِي كَانَ قَدْ بَلَغَ مِنِّي، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ، حَتَّى رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِم أَجْرًا؟ فَقَالَ: « فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: « فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَه، فَأَدْخَلَهُ الْجنَّةَ.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا: « بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيْفُ بِركِيَّةٍ قَدْ كَادَ يقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائيلَ، فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَاسْتَقت لَهُ بِهِ، فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ.
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pada sesuatu ketika ada seseorang lelaki sedang berjalan di suatu jalan tiba-tiba ia merasa sangat kehausan, kemudian ia terjumpa sebuah sumur (perigi), maka ia turun dan meminum (airnya), kemudian setelah keluar ia melihat seekor anjing yang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah kerana kehausan, kemudian orang itu berkata, “Anjing ini benar-benar kehausan seperti yang aku alami tadi.” Kemudian ia turun lagi ke dalam sumur dan mengisi sepatunya dengan air sampai penuh, kemudian ia menggigit sepatunya dan naik ke atas lalu memberikannya kepada anjing itu, maka Allah memuji perbuatan orang itu dan mengampuninya.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah menolong binatang juga memperoleh pahala?”
Baginda menjawab, “Menolong setiap makhluk yang bernyawa itu ada pahala (sebagai balasan atas perbuatan baik padanya).”
[Shahih Al-Bukhari no. 2363. Muslim no. 2244]
Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Maka Allah memuji perbuatan orang itu, mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga.”
Dalam riwayat keduanya disebutkan, “Ketika seekor anjing yang mengelilingi sebuah sumur (perigi), anjing tersebut hampir mati kerana kehausan. Tiba-tiba seorang wanita pelacur berbangsa dari Israil yang melihat anjing tersebut. Lalu dia terus membuka sepatunya dan mengisi air, lalu diberi minum kepada anjing itu. Dengan perbuatan itu, Allah mengampuni dosa-dosa wanita itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 3208. Muslim no. 4164]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini sebuah kisah yang menakjubkan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada sesuatu ketika ada seseorang lelaki sedang berjalan di suatu jalan tiba-tiba ia merasa sangat kehausan, kemudian ia terjumpa sebuah sumur (perigi), maka ia turun dan meminum (airnya), kemudian setelah keluar ia melihat seekor anjing yang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah kerana kehausan.” Maksudnya menjilati tanah yang basah kerana haus untuk menghisap air di dalamnya, kemudian orang itu berkata,
“Anjing ini benar-benar kehausan seperti yang aku alami tadi.” Kemudian ia turun lagi dan mengisi sepatunya dengan air sampai penuh, kemudian ia menggiggit sepatunya dengan naik ke atas dengan kedua tangannya lalu memberikannya kepada anjing itu, maka Allah memuji kepada orang itu atas perbuatannya, mengampuninya dan memasukkan ke dalam surga dengan sebab itu. Kisah ini menguatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Surga itu lebih dekat dengan salah seorang di antara kalian dari tali terompahnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6007]
Ketika Rasulullah mengisahkan kisah ini di hadapan para sahabat mereka sangat tamak menuntut ilmu bukan hanya sebagai pengetahuan saja tetapi juga untuk dikerjakan, mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah menolong binatang juga memperoleh pahala?”
Baginda menjawab, “Menolong setiap makhluk yang bernyawa ada pahala.” Kerana anjing termasuk binatang, bagaimana hanya memberi minum saja dapat meraih pahala yang agung ini? Mereka heran dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baginda menjawabnya dengan sabdanya ini, “Menolong setiap makhluk yang bernyawa ada pahala.” Kerana setiap yang hidup itu membutuhkan air, tanpa air semua akan mati.
Dari kisah ini kita dapat mengambil suatu kaidah, Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan sesuatu kisah dari Bani Israil untuk dipetik pelajaran dan peringatan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.”
(QS. Yusuf: 12: 111)
Dalam riwayat lain bisa jadi kisah yang lain, seorang wanita penzina Bani Israil melihat seekor anjing yang sedang mengelilingi di suatu sumur (perigi) kerana kehausan, mulutnya tidak sampai ke air, kemudian ia mengisi air ke dalam sepatunya dan memberikan air kepada anjing itu, dan Allah mengampuninya. Ini kisah lain yang kedua.
Hadits ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada haiwan juga mendapatkan pahala, seperti memberi minum, makan, dan menjaganya, baik milik sendiri atau milik orang lain bahkan yang liar. Semuanya mendapat pahala di sisi Allah. Jika pahala ini kerana berbuat baik kepada haiwan apalagi kepada sesama manusia lebih banyak pahalanya, Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang memberi minum kepada seorang muslim yang kehausan, maka Allah akan memberinya minum dari Ar-Rahiq Al-Makhtum (minuman lazat di surga).”
[HR. Abu Dawud, no. 1682. At-Tirmidzi, no. 2449, dinilai Dha’if oleh Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami no. 2249]
Ketika anak anda kehausan dan meminta air minum kemudian anda memberinya minum berarti anda memberi minum seorang muslim yang kehausan yang balasannya kelak Allah akan memberinya minum dari rahiqul makhtum (minuman lazat di surga), sungguh pahala yang luar biasa, -segala puji bagi Allah-, siapakah yang akan mendapatkan keuntungan besar ini? Hanya orang-orang yang ikhlas kerana Allah sajalah yang akan dapat meraihnya, wahai saudara muslim, oleh kerana itu kami menasihati kalian untuk selalu memiliki niat yang ikhlas sehingga mendapatkan pahala di sisi-Nya pada hari Kiamat, betapa banyak amal yang remeh menjadi besar kerana niatnya yang ikhlas dan sebaliknya betapa banyak amal yang besar tidak bermanfaat sedikit pun kerana niatnya yang tidak ikhlas.
Hadits 127.
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِي الْجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيْقِ كَانَتْ تُؤْذِي الْمُسْلِمِيْنَ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
وَفِي رِوَايَةٍ: « مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيْقٍ فَقَالَ: وَاللَّهِ لَأَنَحِّيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيهُمْ، فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا: « بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيْقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ علَى الطَّرِيْقِ، فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ، فَغَفَرَ لَهُ.
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya, aku melihat seseorang yang bersenang-senang di dalam surga disebabkan ia memotong dahan yang berada di tengah jalan kerana mengganggu kaum muslimin yang lewat.”
[Shahih Al-Bukhari no. 653. Muslim no. 1914]
Dalam suatu riwayat lain, “Ada seseorang yang melewati sebuah dahan yang menghalangi jalan kemudian ia berkata, “Demi Allah aku akan menyingkirkan dahan ini dari jalan agar tidak mengganggu kaum muslimin yang lewat.” Kerana perbuatan itu dia pun dimasukkan ke surga.”
Dalam riwayat keduanya disebutkan, “Ketika seseorang berjalan pada satu jalan ia menemukan dahan yang berduri di tengah jalan, kemudian ia menyingkirkannya, maka Allah memuji orang itu dan mengampuni dosa-dosanya.”
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, aku melihat seseorang yang bersenang-senang di dalam surga disebabkan ia memotong dahan yang berada di tengah jalan kerana mengganggu kaum muslimin yang lewat.” Dalam riwayat lain ia masuk surga dan Allah mengampuni dosa-dosanya dengan sebab ia menyingkirkan ranting duri yang mengganggu kaum muslimin, kemudian Allah memujinya dan masuk surga, kerana jika duri ini mengenai kaum muslimin artinya menyakiti mereka, dengan demikian Allah mengampuninya dan memasukkan ke dalam surga.
Hadits ini menjadi dalil tentang keutamaan menyingkirkan sesuatu yang menghalangi seseorang di jalan, dan merupakan penyebab masuknya seseorang ke dalam surga.
Sebagai dalil adanya surga sekarang ini, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat orang itu bersenang-senang di dalam surga. Pemahaman inilah yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan merupakan kesepakatan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, bahwa sekarang ini surga sudah ada, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Âli ‘Imrân: 3: 133)
“Yang telah disediakan,” Artinya sekarang ini surga itu telah ada, sebagaimana juga neraka, keduanya abadi selamanya, kerana Allah menciptakannya untuk selama-lamanya tidak pernah rusak, barangsiapa yang memasuki keduanya tidak akan mati selamanya, seorang yang menjadi penduduk surga akan tinggal di dalamnya selama-selamanya, dan sebaliknya barangsiapa yang menjadi penduduk neraka selama-lamanya akan tinggal abadi.
Hadits ini juga sebagai dalil bahwa orang yang menyingkirkan sesuatu yang menyakiti kaum muslimin yang bersifat fisik mendapatkan pahala yang agung ini, apalagi yang berkaitan dengan non fisik, seperti orang-orang jahat yang menghalangi orang untuk menjalankan agama Allah, maka menyingkirkan mereka dari jalan kaum muslimin adalah lebih utama di sisi Allah daripada menyingkirkan sesuatu dari jalan, menyingkirkan mereka dengan cara menentang pemikiran mereka yang sesat.
Jika mereka tidak menghiraukan maka mereka dipancung lehernya, kerana Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,
“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.”
(QS. Al-Mâi’dah: 5: 33)
Kata “au” ini menurut sebagian ulama berarti bermacam-macam, yaitu mereka dibunuh, di potong tangan dan kaki mereka secara silang, dan diasingkan dari negerinya sesuai dengan kejahatan mereka.
Menurut sebagian ulama, kata “au” ini berarti memilih, bahwa hakim berhak memilih, jika ingin membunuh atau menyalib mereka, dan jika ingin memotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau jika ingin mengasingkan dari negerinya, sesuai dengan kemaslahatan. Pendapat ini sangat bagus, kerana bisa jadi orang ini pertama-tama kejahatannya ringan tetapi semakin lama semakin berat bahkan menyesatkan umat ini.
Maka kewajiban pemimpin kaum muslimin adalah menyingkirkannya setiap yang menghalangi kaum muslimin dari jalan mereka, dan menyingkirkan setiap yang menyeru pada kejahatan, atheis, fasik dan merendam sekuat tenaga kejahatan mereka. Yang sangat menyedihkan sebagian pemimpin kaum muslimin tidak begitu memperhatikan masalah ini sehingga eksistensi kejahatan mereka semakin kuat dan sulit untuk dibanteras, maka sebelum kejahatan mereka menggurita kewajiban pemerintah Islam harus memerangi dan mencabut mereka dari akar-akarnya, sehingga tidak menyebar dan menyesatkan masyarakat.
Yang penting menyingkirkan sesuatu yang menghalangi jalan kaum muslimin adalah amalan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, baik jalan hakiki atau maknawi. Jalan hakiki adalah menghilangkan setiap yang menghalangi orang yang lewat, sedangkan maknawi adalah jalan hati, menyingkirkan setiap yang menghalangi jalan hati kaum muslimin itu lebih utama dan banyak pahalanya daripada menyingkirkan sesuatu yang menghalangi kaum muslimin dari jalan mereka.
Hadits 128.
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحَسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ، فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، وَمَنْ مَسَّ الْحَصَا فَقَدْ لَغَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berwudhu dengan sempurna, kemudian mendatangi shalat Jum’at dan memperhatikan khutbah dan diam, maka diampunilah dosa-dosa yang dikerjakan antara hari itu sampai hari Jum’at berikutnya, ditambah tiga hari berikutnya. Dan barangsiapa yang bermain batu kelikir ketika mendengar khutbah maka sia-sia (shalat) Jum’atnya.”
[Shahih Muslim no. 587]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu dengan sempurna, kemudian mendatangi shalat Jum’at dan memperhatikan khutbah dan diam, maka diampunilah dosa-dosa yang dikerjakan antara hari itu sampai hari Jum’at berikutnya, ditambah tiga hari berikutnya. Dan barangsiapa yang bermain batu kelikir ketika mendengar khutbah maka sia-sia (shalat) Jum’atnya.” Hadits ini merupakan dalil bahwa mendatangi shalat Jum’at setelah berwudhu dengan sempurna, kemudian memperhatikan khutbah khatib dan diam, maka ia diampuni dosa-dosanya antara hari itu sampai hari Jum’at berikutnya ditambah tiga hari berikutnya. Ibadah ini mudah dilakukan tidak menyulitkan untuk ditunaikan, seseorang berwudhu dengan baik kemudian berangkat ke masjid untuk shalat Jum’at kemudian diam memperhatikan khutbah hingga selesai.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang berwudhu,” Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang tercantum dalam Ash-Shahihain dan yang lainnya, dari Abu Said Al-Khudhri radhiyallahu anhu bahwasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mandi Juma’at itu wajib bagi setiap muslim yang baligh.”
[Shahih Al-Bukhari no. 811, 830, 831, 846, 2471. Muslim no. 1397, 1400]
Kerana hadits kedua ini merupakan tambahan dari hadits yang pertama, hadits ini juga diamalkan kerana lebih shahih dari yang pertama, kerana diriwayatkan oleh imam yang tujuh sementara hadits ini hanya diriwayatkan oleh imam Muslim. Maka dari itu seorang yang ingin menunaikan shalat Jum’at wajib mandi terlebih dahulu dan jika tidak melakukannya maka berdosa, tetapi shalat Jum’atnya sah, kerana mandi ini bukan seperti mandi junub yang menyebabkan shalatnya tidak sah, tetapi seperti amalan wajib lainnya jika meninggalkannya berdosa dan jika menunaikannya berpahala.
Mandi Jum’at ini bukan merupakan syarat sahnya shalat Jum’at, tetapi hukumnya wajib, sebagaimana kejadian yang dialami oleh Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, suatu ketika ia datang shalat Jum’at ketika Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathtab radhiyallahu anhu sedang khutbah di atas mimbar, lalu Umar bertanya, “Kenapa lambat?” Ia menjawab, “Demi Allah wahai Amirul Mukminin sebelum aku berangkat aku hanya sempat berwudhu.”
Kemudian Umar bin Al-Khathtab berkata di atas mimbarnya dan semua jemaah mendengarnya, “Hanya berwudhu?” Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian hendak berangkat shalat Jum’at hendaknya ia mandi.”
[Shahih Muslim no. 844]
Maksudnya bagaimana anda hanya berwudhu sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian? Kemudian ia memerintahkan jemaah untuk mandi terlebih dahulu sebelum datang shalat Jum’at, tetapi ia tidak memerintahkan Utsman untuk kembali mandi terlebih dahulu kerana kalau ia kembali untuk mandi kemungkinan tertinggal Jum’at yang merupakan tujuan diperintahkannya mandi, akhirnya yang pokoknya hilang kerana hanya mengejar yang cabang.
Kesimpulannya, walaupun hadits ini tidak memerintahkan untuk mandi tetapi ada banyak hadits lain yang menunjukkan wajib mandi sebelum shalat Jum’at.
Hadits ini juga sebagai dalil keutamaan diam mendengarkan khutbah, memperhatikan dan diam tidak berbicara, Sebagaimana sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jum’at, maka ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (ertinya, ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen). Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jum’at baginya (ertinya, ibadah Jum’atnya tidak ada nilainya, pen).”
[HR. Ahmad no. 1/230, dinilai Dha’if oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah no. 1760]
Tentu keledai adalah haiwan yang paling bodoh, jika ia membawa banyak buku tidak bermanfaat baginya. Kaitannya dengan hal ini adalah orang yang shalat Jum’at tetapi tidak mengambil manfaat dari khutbah khatib seperti keledai ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan orang yang menegurnya diamlah! maka shalat Jum’atnya sia-sia,” maksudnya pahala shalat Jum’atnya hilang, dengan demikian masalah ini sangat penting dan harus diambil perhatian. Dengan demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan barangsiapa yang bermain batu kelikir ketika mendengar khutbah maka sia-sia (shalat) Jum’atnya.” Pada zaman Rasulullah lantai masjidnya masih berupa pasir, tetapi sekarang telah berubah, kemungkinan sebagian jemaah bermain-main dengan batu kelikir tidak memerhatikan khutbah, orang seperti ini pahala Jum’atnya hilang padahal merupakan keutamaan umat ini daripada umat-umat yang lainnya.
Jika hukum ini bagi yang bermain kelikir, begitu pula selainnya, misalnya bermain telefon, jam, kipas, pen dan sebagainya tanpa keperluan ketika khatib sedang khutbah, berbeda bagi yang ingin ngantuk kemudian mengambil siwak dan untuk menghilangkan rasa kantuknya, hal ini tidak termasuk, kerana tujuannya untuk memperhatikan khutbah.
Ada juga yang bertanya bagaimana seseorang yang menulis isi khubah, kerana sebagian orang lupa apa yang dikatakan khatib, “Bolehkah menulis hal-hal yang penting dari khutbah?” Secara zhahir tidak diperbolehkan menulis, kerana jika ia sibuk menulis konsentrasinya terbelah, kerana manusia tidak bisa membagi konsentrasinya, ketika ia menulis tentu akan lengah apa yang dikatakan oleh khatib, tetapi Alhamdulillah sekarang telah terdapat banyak sarana untuk merakam isi khutbah, sangat memungkinkan untuk merakam khutbah sehingga tidak mengganggu perhatian kita terhadap khutbah, dan mendengar ulangan di rumah atau di tempat lain.
Hadits 129.
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ، أَوِ الْمُؤْمِنُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنِهِ مَعَ الْمَاءِ، أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ، فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ، فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيْئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًا مِنَ الذُّنُوبِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang muslim atau mukmin berwudhu, kemudian membasuh mukanya, keluarlah setiap dosa yang dilakukan oleh kedua matanya bersama dengan jatuhnya air atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir, jika dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari tangannya setiap dosa yang dilakukan oleh keduanya bersama dengan jatuhnya air atau tetesan air terakhir. Jika ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa diperbuat oleh kedua kakinya kerana digunakan berjalan pada jalan yang tidak benar bersama dengan jatuhnya air atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir, sehingga bersih dari dosa.”
[Shahih Muslim no. 244]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim atau mukmin berwudhu, kemudian membasuh mukanya, keluarlah setiap dosa yang dilakukan oleh kedua matanya bersama dengan jatuhnya air atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir, jika dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari tangannya setiap dosa yang dilakukan oleh keduanya bersama dengan jatuhnya air atau tetesan air terakhir. Jika ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa diperbuat oleh kedua kakinya kerana digunakan berjalan pada jalan yang tidak benar bersama dengan jatuhnya air atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir, sehingga bersih dari dosa.” Wudhu ini diperintahkan oleh Allah dalam kitab-Nya,
“Wahai orang-orang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Mâ’idah: 5: 6)
Wudhu ini menyucikan empat anggota tubuh; wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki, disamping fisik wudhu juga mensucikan ruhiyah. Secara fisik setiap hari ia membasuh mukanya, kedua tangannya, kepalanya dan kedua kakinya, tentunya kepala sangat penting untuk dibersihkan sebagaimana anggota tubuh yang lain, hanya saja Allah memberi keringanan, kerana terdapat rambut yang jika di basuh akan sangat memberatkan khususnya pada cuaca yang dingin, tetapi kerana keluasan rahmat Allah Ta’ala meringankan untuk mengusapnya saja. Hal ini menunjukkan kesempurnaan Islam, yang mewajibkan semua pemeluknya untuk mensucikan anggota tubuh ini.
Adapun menyucikan ruhiyah, seharusnya setiap muslim menjadikannya sebagai tujuan ia berwudhu setiap hari, yaitu membersihkan diri dari segala dosa, jika ia membasuh mukanya semua kesalahan yang telah diperbuat oleh kedua matanya akan keluar bersama jatuhnya air, disebutkan “Kedua mata” dalam hadits ini sebagai misal saja- Wallahu A’lam- kerana hidung juga terkadang bersalah, mulut, lidah kerana berbicara yang haram. Maka disebutkan “Kedua mata” kerana kebanyakan kesalahan diperbuat olehnya.
Dengan demikian seseorang yang membasuh mukanya dalam berwudhu, gugurlah setiap dosa yang dilakukan oleh kedua matanya, jika membasuh kedua tangannya maka akan gugur dosa-dosa yang telah diperbuat oleh keduanya, dan jika membasuh kedua kakinya, maka gugurlah dosa yang diperbuat oleh keduanya, sehingga bersih dari dosa. Oleh kerana itu, Allah Ta’ala berfirman ketika menyebutkan wudhu, mandi dan tayammum,
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurna nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”
(QS. Al-Mâ’idah: 5: 6)
Yaitu secara zhahir, batin, fisik dan ruhiyah. Seseorang yang berwudhu hendaknya menghadirkan makna ini, wudhunya sebagai penebus dosa-dosa yang telah ia perbuat, mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala dengan wudhunya.
Hadits 130.
عَنْهُ عَنْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتنِبَتِ الْكَبائِرُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat lima waktu, shalat Jum’at yang satu hingga Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya adalah penebus dosa-dosa yang dilakukan antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhinya.”
[Shahih Muslim no. 233]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat lima waktu, shalat Jum’at yang satu hingga Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya adalah penebus dosa-dosa yang dilakukan antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhinya.”
Dosa besar adalah setiap dosa yang syariat memberinya hukuman khusus, seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutuknya, terdapat hukuman di dunia seperti zina, mendapatkan peringatan di akhirat seperti makan riba, atau menghilangkan keimanan, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
[Shahih Al-Bukhari no. 13. Muslim no. 45]
Atau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya, seperti,
“Barangsiapa yang menipu kami maka bukan dari golongan kami.”
[HR. Ibnu Hibban no. 2: 326, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1058]
Atau dosa-dosa besar lainnya.
Para ulama berbeda pendapat terkait sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Selama dosa-dosa besar dijauhinya,” makna hadits ini ada dua;
1. Bahwa dosa-dosa kecil itu diampuni jika ia menjauhi dosa-dosa besar, dan tidak diampuni kecuali dengan dua syarat; menunaikan shalat wajib lima waktu dan menjauhi dosa-dosa besar.
2. Bahwa amal ibadah ini adalah penebus dosa-dosa kecil selain dosa-dosa besar, dengan demikian syarat diampuninya dosa-dosa itu hanya satu, yaitu mendirikan shalat lima waktu, menunaikan shalat Jum’at, puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya, makna ini yang lebih jelas. Wallahu A’lam.
Artinya, bahwa shalat lima waktu, Jum’at hingga Jum’at berikutnya, puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya, sebagai penebus semua dosa kecil kecuali dosa-dosa besar, kerana dosa besar memerlukan taubat yang khusus, jika tidak bertaubat maka amal ibadah ini tidak mampu menghapusnya.
Hadits 131.
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَلاَ أَدُلُّكَمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ » قَالُوا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: « إسْبَاغُ الْوُضُوْءِ عَلَى الْمَكَارِةُ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدِ الصَّلاَةِ، فَذَلِكُمُ الرِّذبَاطُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mahukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dapat menghapuskan dosa-dosa dan mengangkat derajat kalian?”
Mereka menjawab, “Sudah tentu, wahai Rasulullah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada saat-saat yang tidak disukai, memperbanyak melangkah ke masjid dan menunggu shalat berikutnya seusai shalat. Hal itu ibarat ribath (menjaga perbatasan dari serangan musuh).”
[Shahih Muslim no. 251]
Penjelasan.
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada para sahabat, baginda mengetahui apa yang akan diucapkan oleh mereka, tetapi baginda melakukannya kerana termasuk metodenya menyampaikan agar terjadi interaksi dan menarik perhatian mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mahukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dapat menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat kalian?” Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa pasti mereka akan menjawab iya, katakan wahai Rasulullah, tetapi baginda menyampaikan pertanyaan ini untuk menarik perhatian mereka saja, mereka menjawab, “Tentu saja wahai Rasulullah,” informasikan kepada kami sesuatu yang meningkatkan derajat kami dan menghapuskan dosa-dosa?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yaitu menyempurnakan wudhu pada waktu-waktu yang tidak disukai, memperbanyak langkah kaki ke masjid dan menunggu shalat berikutnya seusai shalat.” Inilah tiga hal:
1. Menyempurnakan wudhu pada cuaca yang sangat dingin kerana air sangat dingin, maka menyempurnakan wudhu pada waktu itu sangat berat, seseorang yang mengalami kesulitan ini menunjukkan tingginya keimanannya, dan Allah akan mengangkat derajatnya dan menghapuskan dosanya.
2. Memperbanyakkan melangkah kaki ke masjid, khususnya untuk menunaikan shalat berjemaah lima waktu, setiap kali ia melangkah pergi ke masjid maka semakin banyak pahala yang ia dapatkan, kerana seseorang yang berwudhu di rumahnya dengan sempurna, kemudian ia keluar menuju ke masjid untuk menunaikan shalat, maka setiap langkahnya Allah akan mengangkat derajat baginya setiap kali ia melangkah, dan dihapuskan kesalahannya.
3. Menunggu shalat berjemaah setelah shalat, seseorang yang melakukan hal ini menunjukkan betapa rindu dan cintanya terhadap shalat berjemaah dan juga menunjukkan ketinggian imannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dijadikan untukku ketenanganku di dalam shalat.”
[Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahihul Jami no. 3124]
Seorang yang menunggu shalat berikutnya maka Allah akan mengangkat derajat dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya.
“Itulah yang disebut dengan ribath,” Kata ribath makna asalnya adalah berjaga dalam medan jihad melawan musuh, mengikat kuda-kuda dan mempersiapkannya, inilah termasuk amal yang paling utama. Begitu juga sepertinya banyak amal shalih dan ibadah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu selalu menjaga suci, shalat, ibadah dan jihad di jalan Allah.
Menurut sebagian ulama arti ribath adalah sesuatu yang mengikat, artinya bahwa amal-amal ibadah ini mengikat orang yang melakukannya dari perbuatan maksiat.
Hadits 132.
عَنْ أَبِي مُوْسَى الأَشْعَرِي رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang selalu memelihara shalat pada dua waktu dingin (Al-Bardain; yakni Subuh dan Ashar) maka ia akan masuk surga.”
[Shahih Al-Bukhari no. 574. Muslim no. 635]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang selalu memelihara shalat pada dua waktu dingin (Al-Bardain; yakni Subuh dan Ashar) maka ia akan masuk surga.” Kata “Al-Bardain” maksudnya adalah shalat Subuh dan Ashar, kerana shalat subuh itu pada cuaca dinginnya malam, sedangkan Ashar adalah shalat pada dinginnya siang setelah tergelincirnya matahari, barangsiapa yang menjaga keduanya termasuk sebab masuknya seseorang ke dalam surga.
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya pada suatu malam baginda memandang bulan dan bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, tidak ada penghalang sedikit pun, jika kalian mampu hendaknya jangan sampai tertinggal shalat sebelum matahari terbit (Subuh) dan terbenam (Ashar).”
[Shahih Al-Bukhari no. 529 dan Muslim no. 633]
“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini.” Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan penglihatan dengan penglihatan, bukan yang dilihat dengan yang dilihat, kerana Allah tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, kalian akan memandang Tuhan kalian secara sebenarnya sebagaimana kalian juga melihat bulan ini, kerana Allah Ta’ala Maha Agung dan Maha Tinggi untuk diserupakan dengan makhluk.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika kalian mampu hendaknya jangan sampai tertinggal shalat sebelum matahari terbit (Subuh) dan terbenam (Ashar).” Kerana kedua shalat ini adalah shalat yang paling utama, dan yang lebih utama di antara keduanya adalah shalat Ashar kerana adalah shalat “wustha” sebagaimana firman-Nya,
“Perliharalah semua shalat dan shalat wustha. Dan laksanakanlah (shalat) kerana Allah dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 2: 238)
Sabagaimana Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih ketika perang Ahzab,
“Allah memenuhi rumah-rumah dan kuburan mereka dengan neraka sebagaimana mereka telah menyibukkan kita dari shalat Al-Wustha yaitu shalat Ashar.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2931 dan Muslim no. 627]
Ini adalah dalil yang jelas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa shalat Al-Wustha adalah shalat Ashar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang selalu memelihara shalat pada dua waktu dingin (Al-Bardain; yakni Subuh dan Ashar),” Maksudnya adalah menunaikan shalat seperti yang diperintahkan, menunaikannya tepat pada waktunya. Dan kaum laki-laki adalah berjemaah di masjid, tidak boleh seseorang meninggalkan shalat berjama’ah sedangkan dia mampu menunaikannya, hukumnya wajib.
Hadits 133.
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِذَا مَرِِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيِْحًا » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ .
Daripada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang sakit atau sedang bepergian (musafir), maka dicatatlah baginya pahala sepertimana amal perbuatan yang biasa dikerjakan pada waktu mukim (tidak bepergian) dan ketika waktu sihatnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2996]
Penjelasan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang sakit atau sedang bepergian (musafir), maka dicatatlah baginya pahala sepertimana amal perbuatan yang biasa dikerjakan pada waktu mukim (tidak bepergian) dan ketika waktu sihatnya.” Seseorang yang biasanya beramal shalih kemudian ia jatuh sakit tidak mampu menunaikannya maka ia mendapat pahala seperti kondisi sihatnya. Segala puji bagi Allah dengan limpah segala nikmat-Nya.
Misalnya, jika kebiasaan kita menunaikan shalat berjama’ah di masjid, kemudian tiba-tiba jatuh sakit tidak mampu berangkat ke masjid untuk shalat berjama’ah, maka kita tetap mendapat pahala shalat berjama’ah yaitu dua puluh tujuh derajat. Jika kebiasaan kita menjaga shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahlil, takbir dan selalu berdzikir tetapi tiba-tiba kita harus bepergian dan tidak bisa melakukan kebiasaan baik ini, maka kita tetap mendapat pahala kebiasaan kita, ketika dalam perjalanan tidak bisa shalat jama’ah maka tetap dicatat sebagai shalat jama’ah, jika kebiasaan kita sehari-hari shalat berjama’ah di masjid.
Hadits ini sebagai peringatan bagi orang yang berakal untuk memelihara amal shalih dalam setiap kesempatan dan kondisi sihat, sehingga ketika ia tidak mampu menunaikannya maka tetap mendapat pahala seperti kebiasaannya. Maka dari itu hendaknya pergunakanlah kesempatan dan kesihatan itu dengan sebaik-baiknya, tetaplah beramal shalih sehingga jika anda tertimpa sakit atau lainnya sehingga tidak mampu menunaikannya anda tetap mendapat pahala yang sempurna, segala puji bagi Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya iaitu kesihatan dan waktu yang terluang.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5933]
Ibnu Umar radhiyallahu anhma berkata,
“Maka pergunakanlah masa sihatmu sebelum sakitmu dan masa hidupmu sebelum matimu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5937]
Demikianlah sebagaimana yang tercantum dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, entah ucapannya atau ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap orang hendaknya selalu menggunakan waktunya pada masa sihatnya, sehingga ketika ditakdirkan jatuh sakit ia tetap dicatat amalan kala sihatnya, tetap beramal shalih kala mukimnya sehingga sewaktu-waktu bepergian ia dicatat pahala yang ia kerjakan kala mukim, semoga Allah memberikan niat yang ikhlas dalam beramal.
Hadits 134.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ مِنْ رَوَايَةٍ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap perbuatan yang baik adalah sedekah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6021]
Dalam riwayat Muslim, daripada Hudzaifah radhiyallahu anhu.
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini riwayat dari Jabir rahiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap perbuatan yang baik adalah sedekah.” Al-Makruf adalah setiap perbuatan yang orang-orang memandangnya sebagai perbuatan baik, atau syariat melihatnya sebagai perbuatan baik, jika dalam masalah ibadah maka dengan pandangan syariat, tetapi jika dalam masalah muamalah antara sesama maka yang dipandang baik oleh orang-orang. Hadits ini mencakup kedua kebaikan ini, setiap ibadah kepada Allah adalah sedekah, sebagaimana dalam hadits di atas,
“Setiap ucapan tasbih (subhaanallah) adalah sedekah, setiap ucapan tahlil (la ilaha illallah) adalah sedekah, setiap ucapan tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, memerintahkan kebaikan adalah sedekah dan mencegah kemungkaran adalah sedekah.”
[Shahih Muslim no. 1181]
Adapun yang dipandang baik oleh masyarakat adalah dalam masalah muamalah antara sesama manusia, setiap yang dipandang baik oleh masyarakat adalah kebaikan, seperti bersikap baik kepada sesama dengan akhlak yang mulia, memberi harta, kedudukan atau yang lainnya. Berwajah ceria ketika bertemu dengan saudaranya, tidak menampak muka yang cemberut, bertutur kata lembut, memberi motivasi, mengunjungi orang yang sakit dan mengucapkan kata-kata yang baik dan menghibur, seperti “Anda baik-baik saja,” walaupun kenyataannya sakitnya keras, ia mengatakan sebagai harapan kesembuhannya, kerana menghibur orang yang sakit itu merupakan sarana kesembuhan. Maka banyak kasus orang yang sakit dan dikatakan kepadanya “Sakit anda ringan, insya Allah cepat sembuh,” ia akan melupakan rasa sakitnya dan itu sebab kesembuhannya, tetapi jika selalu terikat dengan rasa sakitnya maka merupakan sebab penyakitnya tetap berada padanya. Misalnya seorang yang terkena luka, jika ia mengabaikannya maka tidak begitu merasa sakit, sebaliknya jika ia tidak mengalihkan perhatiannya atau selalu memikirkannya maka rasa sakitnya akan bertambah, atau bahkan seolah akan mati.
Seorang tukang panggul misalnya terkadang ada sesuatu yang mengenai kakinya dan terluka, tetapi kerana ia memanggul beban yang berat tidak merasa kesakitan, setelah selesai, baru merasakannya.
Dengan demikian, menghibur orang yang sakit dan membuatnya tidak memikirkan sakitnya, memberi harapan bahwa Allah Ta’ala adalah Maha Menyembuhkan merupakan di antara sebab kesembuhan sakitnya.
Dengan demikian, setiap yang makruf itu kebaikan, seorang yang duduk di samping anda dengan sangat berkeringat kemudian anda menawarkan kipas maka itu merupakan sedekah, kerana merupakan perbuatan baik.
Menerima tamu dengan menggelar tikar dan memendekkan kunjungan juga merupakan sedekah. Lihat kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ketika datang Malaikat sebagai tamu baginya,
“Mereka mengucapkan, “Selamat.” Dan (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas kamu).” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan.”
(QS. Hûd: 11: 69)
Para ulama mengatakan, “Ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam “salamun” itu lebih baik daripada ucapan malaikat “Salaman,” kerana ucapan malaikat artinya “kita mengucapkan salam,”
kalimat fill yang menunjukkan terkait dengan waktu suatu kejadian. Sedangkan ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah kalimat isim yang menunjukkan pada arti selalu dan lebih mendalam. Kemudian apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam? “Maka tidak lama kemudian Nabi Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.”
“Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar).”
(QS. Adz’Dzâriyât: 51: 26)
Kata “faraagha” artinya pergi diam-diam dengan cepat untuk menerima tamu dengan baik, ia cepat-cepat agar tidak dilarang oleh tamunya, “Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.” Para ulama berkata bahwa “Ijlin” (sapi yang gemuk) adalah daging yang terbaik, kerana dagingnya lembut dan sangat lazat, “Lalu dihidangkannya kepada mereka,” bukannya menghidangkan di tempat yang jauh darinya dan berkata, “Pergilah ke ruang makan” tentunya sikap ini bukan sikap menerima tamu yang baik tetapi baginda mendekatkan kepada para tamunya.
Kemudian ia berkata, “Kalau berkenan silakan dimakan!” berkenan silakan dimakan!” ia tidak mengatakan “Makanlah!” Dengan sopan mempersilakannya untuk makan tidak menggunakan ungkapan perintah.
Tetapi para malaikat tidak memakannya, kerana mereka tidak makan, tidak memiliki perut, pencernaan atau jantung, Allah menciptakan mereka dari cahaya, tubuh yang tidak makan, minum atau buang air sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 20)
Mereka selalu bertasbih, Maha Suci Allah, mereka tidak makan kerana sebab ini.
“Kerana itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka.” Kerana mereka tidak mahu makan, kebiasaan orang Arab jika tamunya tidak mahu makan hidangan yang dihidangkannya dianggap berniat buruk. Dengan demikian kebiasaan ini berlanjut sampai sekarang jika ada seorang tamu tetapi tidak mahu makan hidangan yang dihidangkannya, ia berkata, “Silakan dicicipin hidangannya,” tetapi jika tidak mahu mencicipi tuan rumahnya menganggap bahwa orang ini berniat buruk kepadanya, begitu pula Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, “Kerana itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka.” Dan Mereka berkata, “Janganlah kamu takut.”
Kemudian mereka menerangkan hal itu “Dan mereka memberi khabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).”
“Tetapi mereka tidak mahu makan kerana itu Ibrahim merasa takut kepada mereka..”
(QS. Adz-Dzâriyât: 51: 28)
Padahal ia sendiri usianya sudah tua begitu pula isterinya, “Kemudian isterinya datang,” kerana mendengar khabar gembira itu kemudian “Memekik lalu menepuk mukanya sendiri.” Kerana keheranan seraya berkata, “Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul,” yaitu mungkinkah aku mengandung padahal aku sudah tua dan mandul? Maka Malaikat berkata, “Demikian Tuhanmu memfirmankan.” Allah Ta’ala berbuat sekehendak-Nya, jika menginginkan sesuatu hanya berfirman, “Jadilah, maka jadilah ia.”
“Dialah Yang Mahabijaksana, Maha Mengetahui.”
(QS. Adz-Dzâriyat: 51: 30)
Dalam ayat ini kata “Maha Bijaksana” didahulukan dari kata “Maha Mengetahui” sementara banyak ayat yang mendahulukan “Maha Mengetahui” dari kata “Maha Bijaksana” kerana isterinya yang dapat mengandung padahal sudah tua adalah kejadian luar biasa, maka Allah Yang Maha Bijak menyebutkan dalam ayat ini “Maha Bijaksana.”
bahwa Allah Maha Bijak untuk mentakdirkan isterinya mengandung dalam kondisi demikian.
Yang penting, bahwa Nabi Ibrahim telah menampakkan sikapnya yang baik dalam menerima tamu, menerima tamu dengan baik adalah termasuk perbuatan yang makruf (baik) dan setiap yang makruf (baik) adalah sedekah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits 135.
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً، وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً، وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةً » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
وَفيِ رِوَايَةٍ لَهُ: « فَلَا يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا، فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دَابَّةٌ وَلَا طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
وَفيِ رِوَايَةٍ لَهُ: « لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا، وَلَا يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْه إِنْسَانٌ وَلَا دَابَّةٌ وَلَا شَيْءٌ إلاَّ كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً.
وَرَوَيَاهُ جَمِيْعًا مِنْ رِوَايَةِ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kecuali apa yang dimakan darinya itu adalah sedekah untuknya, apa yang dicuri darinya adalah sedekah untuknya, dan apa yang diambil seseorang juga menjadi sedekah baginya.”
[Shahih Muslim no. 1552]
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tiada seorang muslim yang menanam tanaman, kemudian ada yang makan darinya baik manusia, haiwan ternak atau yang lainnya kecuali menjadi sedekah baginya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2320, 6012. Muslim no. 1552]
Keduanya (Bukhari dan Muslim) sama-sama meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik.
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini, “Banyaknya jalan kebaikan” riwayat ini dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan seorang yang menanam tanaman kemudian ada yang memakan darinya baik manusia, burung atau yang lainnya, atau yang dicuri atau dikurangi seseorang, maka itu semua menjadi sedekah baginya. Hadits ini memotivasi kita untuk bercucuk tanam, kerana terdapat maslahat yang sangat banyak baik di dunia mahupun akhirat.
Maslahat di dunia, menanam dan mengembang pertanian manfaatnya sangat jelas, baik untuk diri atau negerinya. Bahkan, semua orang mendapat manfaatnya; dengan jual beli hasil bumi seperti kurma, berbagai jenis biji-bijian, dan lain-lain. Dengan demikian pengembangan pertanian ini sangat bermanfaat bagi semua masyarakat, berbeda dengan harta yang disimpan di bank tidak akan bermanfaat sedikit pun.
Adapun maslahat yang bersifat agama, setiap hasil yang dimakan oleh makhluk Allah ia mendapat pahalanya, seperti burung, ayam atau yang lainnya, walaupun hanya satu biji tetap baginya pahala sedekah, baik sengaja ataupun tidak, walaupun petani itu tidak memerhatikan masalah ini tetap menjadi pahala sedekah baginya.
Yang lebih menakjubkan dari itu bahwa, sekiranya ada seseorang yang mencuri darinya maka yang dicurinya itu menjadi sedekah baginya, meskipun pencuri itu tertangkap dan dihukum, Allah tetap akan menjadikannya sebagai sedekah baginya pada hari Kiamat.
Begitu pula jika tanaman itu dimakan oleh binatang atau burung maka akan menjadi pahala sedekah baginya, dengan demikian hadits ini merupakan motivasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencucuk tanam kerana terdapat banyak manfaat baik duniawi atau ukhrawi.
Hadits ini sebagai dalil banyaknya jalan kebaikan, setiap orang yang memanfaatnya maka pahalanya mengalir baginya, ia tetap mendapat kebaikannya baik niat atau tidak. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahsia mereka, kecuali pembicaraan rahsia dari orang yang menyuruh (orang) sedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan pendamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian kerana mencari keredaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.”
(QS. An-Nisâ: 4: 144)
Allah Ta’ala menyebutkan bahwa hal ini semua terdapat kebaikan baik niat mahupun tidak, barangsiapa yang memerintahkan pada sedekah atau mendamaikan orang-orang yang bertikai, maka akan mendapatkan kebaikan sengaja atau tidak, jika diniatkan kerana Allah Ta’ala, kerana Allah berfirman,
“Maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An-Nisâ: 4: 144)
Demikian hadits ini sebagai dalil bahwa sesuatu yang baik jika dimanfaatkan oleh orang lain itu pahalanya mengalir pada yang memilikinya walaupun ia tidak berniat untuk itu, dan jika ia berniat untuk kebaikan maka akan mendapatkan pahala kebaikan ganda dan Allah memberinya karunia yang banyak. Semoga Allah memberikan karunia-Nya kepada kita semua untuk selalu ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh Dia-lah Yang Maha Mulia.
Hadits 136.
عَنْهُ قَالَ: أَرَادَ بَنُوْ سَلِمَةَ أَنْ يَنْتَقِلْوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُمْ: « إِنَّه قَدْ بَلَغَنِي أَنَّكُمْ تُرِيْدُونَ أَنْ تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ ؟ » فَقَالُوا: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ أَرَدْنَا ذَلِكَ، فَقَالَ: « بَنِي سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ، تُكْتَبُ آثَارُكُمْ، دِيَارَكُمْ، تُكْتَبُ آثارُكُمْ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
وَفِي رِوَايَةٍ: إِنَّ بِكُلِّ خَطْوَةٍ دَرَجَةً. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, “Orang-orang Bani Salimah ingin berpindah rumah dekat dengan masjid, kemudian khabar itu terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka baginda bersabda, “Aku mendengar bahwa kalian ingin berpindah tempat yang berdekatan dengan masjid?”
Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami ingin berpindah berdekatan dengan masjid.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai Bani Salimah, tetaplah di tempat tinggal kalian, kerana setiap langkah kalian dari rumah ke masjid akan dicatat! Tetaplah di tempat tinggal kalian, kerana setiap langkah kalian dari rumah ke masjid akan dicatat!”
[Shahih Muslim no. 665]
Dalam riwayat lain disebutkan, “Setiap langkah itu mengangkat satu derajat.”
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu ia berkata, Bani Salimah ingin berpindah rumah dekat dengan masjid, agar lebih mudah shalat berjemaah dan mendapatkan ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian khabar itu terdengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka baginda bersabda, “Aku mendengar bahwa kalian ingin berpindah tempat yang berdekatan dengan masjid?” Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami ingin berpindah berdekatan dengan masjid.” Baginda bersabda, “Wahai Bani Salimah, tetaplah di tempat tinggal kalian, kerana setiap langkah kalian dari rumah ke masjid akan dicatat! Tetaplah di tempat tinggal kalian, kerana setiap langkah kalian dari rumah ke masjid akan dicatat!” dua kali, kemudian baginda menjelaskan kepada mereka bahwa setiap langkah itu tercatat satu kebaikan dan ditinggikan satu derajat.
Hadits ini sebagai dalil bahwa seseorang yang berjalan menuju ke masjid dan setiap langkahnya akan diangkat satu derajat baginya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini,
“Barangsiapa yang berwudhu dengan sempurna, kemudian keluar dari rumahnya menuju ke masjid, tidak ada yang mengeluarkannya (dari rumahnya) kecuali shalat maka setiap langkahnya dicatat baginya satu derajat dan dihapuskan baginya satu kesalahan (dosanya).”
[Shahih Al-Bukhari no. 457, 611, 1976]
Maka ia mendapatkan dua pahala. Pertama, diangkat satu derajat dan kedua, dihapuskan satu dosa baginya. Seseorang yang berwudhu dengan sempurna kemudian melangkahkan kakinya baik jauh atau dekat kecuali ia akan di catat dua pahala ini.
Hadits ini juga sebagai dalil ketika ada suatu informasi dari seseorang maka perlu menelitinya sebelum menetapkan hukumnya. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bani Salimah sebelum mengatakan sesuatu, dan bersabda, “Aku mendengar bahwa kalian ingin berpindah tempat yang berdekatan dengan masjid?”
Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami ingin berpindah berdekatan dengan masjid.” Dengan demikianjika ada sesuatu informasi seharusnya melakukan konfirmasi (pengesahan) terlebih dahulu sebelum menetapkan informasi itu, sehingga keputusannya berdasarkan konfirmasi yang teliti dan bijak, tetapi jika setiap informasi diterima begitu saja maka menyebabkan masalah besar. Oleh kerana itu, sangat perlu melakukan konfirmasi terlebih dahulu.
Begitu juga hadits ini sebagai dalil banyaknya jalan kebaikan, di antaranya adalah jalan menuju ke masjid, sebagaimana yaitu meningkatkan derajat dan menghapuskan banyak kesalahan, memperbanyak langkah ke masjid merupakan sebab diampuninya dosa dan diangkatnya derajat kita.
Hadits 137.
عَنْ أَبِي الْمُنْذِرِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَجُلٌ لَا أَعْلَمُ رَجُلًا أَبْعَدَ مِنَ الْمَسْجِدِ مِنْهُ، وَكَانَ لَا تُخْطِئُهُ صَلَاةٌ فَقِيْلَ لَهُ، أَوْ فَقُلْتُ لَهُ: لَوْ اشْتَرَيْتَ حِمَارًا تَرْكَبُهُ فِي الظَّلْمَاءِ، وَفِي الرَّمْضَاءِ فَقَالَ: مَا يَسُرُّنِي أَنَّ مَنْزِلِي إِلَى جَنْبِ الْمسْجِدِ، إِنِّي أُرِيدُ أَنْ يُكْتَبَ لِي مَمْشَايَ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَرُجُوْعِي إِذَا رَجَعْتُ إِلَى أَهْلِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « قَدْ جَمَعَ اللهُ لِكَ ذَلِكَ كُلَّهُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي رِوَيَةٍ: إِنَّ لَكَ مَا احْتَسَبْتَ.
Daripada Abu Al-Mundzir Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ada seseorang yang sepanjang pengetahuanku, tidak ada seseorang pun yang lebih jauh rumahnya dari masjid dibanding rumahnya, dan ia tidak pernah tertinggal shalat berjemaah di masjid.
Kemudian ada seseorang yang mengatakan, atau aku katakan kepadanya, “Seandainya kamu membeli seekor keledai yang dapat kamu naiki ketika hari masih gelap atau waktu panas terik?”
Dia menjawab, “Aku tidak ingin rumahku berdekatan dengan masjid, kerana aku ingin setiap langkahku berangkat pergi ke masjid dicatat sebagai kebaikan begitu pula langkah-langkah kepulanganku.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan semua catatan itu bagimu.”
[Shahih Muslim no. 663]
Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguh bagimu apa yang kamu harapkan (niatkan).”
Penjelasan.
Hadits ini masih berkaitan dengan hadits-hadits yang menerangkan banyaknya jalan kebaikan. Jalan kebaikan itu sangat banyak, di antaranya adalah melangkah kaki ke masjid dan kepulangannya dan jika ia mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala.
Hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ini mengisahkan kisah seseorang yang rumahnya jauh dari masjid, ia selalu mengharap setiap langkahnya itu dicatat sebagai pahala di sisi Allah Ta’ala, baik keberangkatannya ke masjid mahupun kepulangannya.
Kemudian sebagian orang menyarankannya, “Seandainya kamu membeli seekor keledai yang dapat kamu naiki ketika hari masih gelap atau waktu panas terik?”
Kemudian ia berkata, “Aku tidak ingin rumahku berdekatan dengan masjid, kerana aku ingin setiap langkahku berangkat pergi ke masjid dicatat sebagai kebaikan begitu pula langkah-langkah kepulanganku.” Justru ia menginginkan rumahnya jauh dari masjid, kerana kalau dekat langkahnya tidak banyak dan tidak mendapatkan keutamaannya, ia selalu berharap kepada Allah Ta’ala agar setiap langkahnya dicatat disisi Allah Ta’ala baik pergi mahupun kepulangannya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah mengumpulkan semua catatan itu bagimu.”
Hadits ini sebagai dalil bahwa banyaknya langkah menuju ke masjid, merupakan jalan kebaikan, jika seseorang selalu berharap kepada-Nya, maka setiap langkah pergi dan kepulangannya dari masjid akan di catat sebagai kebaikan di sisi-Nya.
Tentu niat itu menempati kedudukan yang terpenting dalam suatu amal, menentukan diterima, mendapatkan pahala atau tidaknya suatu amal. Betapa banyak orang-orang yang bersanding menunaikan shalat tetapi perbedaan antara keduanya bagaikan langit dan bumi, kerana perbedaan niat dan benarnya suatu amal, semakin seseorang lebih ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka semakin banyak pahala di sisi Allah Ta’ala.
Hadits 138.
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَرْبَعُونَ خَصْلَةً أَعْلاَهَا مَنِيْحَةُ الْعَنْزِ، مَا مِنْ عَامَلٍ يَعْمَلَ بِخَصْلَةٍ مِنْهَا رَجَاءَ ثَوَابِهَا وَتَصْدِيْقَ مَوْعُوْدِهَا إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللهُ بِهَا الْجَنَّةَ » رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ.
Daripada Abu Muhammad bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada empat puluh amalan yang paling utama, yang paling utama adalah dengan meminjamkan seekor kambing (betina) untuk diperah susunya kemudian dikembalikan lagi. Tiada seorang pun yang mengerjakan salah satu diantaranya dengan mengharap balasan di sisi-Nya dan meyakini (membenarkan) janji (Allah) atasnya, kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga kerana perbuatannya itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2631]
Hadits 139.
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةِِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّه لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَينَهُ تَرْجُمَانٌ، فَيَنْظُرَ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ، وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إلاَّ مَا قَدَّمَ، وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلَا يَرى إلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ، فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرةٍ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طيِّبَةٍ.
Daripada Adi bin Hatim radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Takutlah kalian terhadap api neraka, walaupun hanya dengan bersedekah separuh kurma.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6023. Muslim no. 1016]
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidak ada seorang pun daripada kamu semua, melainkan akan diajak bercakap oleh Tuhannya dan di antara dia dengan Tuhannnya tidak ada perantaraan. Orang itu melihat ke sebelah kanannya, maka tidak ada yang dilihat olehnya kecuali amalan yang telah dilakukannya ketika hidupnya, dan dia melihat ke sebelah kirinya, maka tidak ada pula yang dilihat olehnya, kecuali amalan yang dilakukan ketika hidupnya. Kemudian dia melihat pula ke hadapan, maka tidak ada yang dilihatnya kecuali neraka yang ada dihadapannya. Maka takutlah kamu semua terhadap seksa neraka. Buatlah kebaikan walaupun dengan bersedekah sehiris kurma. Sekiranya tidak mempunyai sesuatu untuk disedekahkan, maka bersedekahlah dengan mengucapkan kata-kata yang baik-baik sahaja.”
[Shahih Al-Bukhari no. 7443, 7512]
Penjelasan.
Hadits ini juga menjelaskan bagian dari kebaikan, kerana Alhamdulillah jalan kebaikan itu sangat banyak, Allah mensyariatkan untuk para hamba-Nya dengan menapakinya agar sampai pada tujuan, diantaranya adalah sedekah, kerana sedekah itu sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.”
[Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam shahih At-Tirmidzi, no. 614.]
Yaitu sebagaimana ketika kita mengguyurkan api pada api dan sekaligus api itu padam, maka seperti itu pula sedekah menghapuskan dosa dan kesalahan.
Kemudian An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits ini yang menerangkan bahwa Allah Ta’ala akan membicarakan dengan setiap manusia satu-persatu pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah,
“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqâq: 84: 6)
Yang pasti setiap manusia berhadapan dengan Tuhan-Nya untuk mempertanggungjawabkan semua amalan yang telah dikerjakan di dunia ini. Tetapi hal ini merupakan khabar gembira bagi orang-orang mukmin, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikan khabar gembira kepada orang yang beriman.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 223) Kerana seorang mukmin yang bertemu dengan Tuhannya mendapat kebaikan.
Oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun daripada kamu semua, melainkan akan diajak bercakap oleh Tuhannya dan di antara dia dengan Tuhannnya tidak ada perantaraan,” yaitu Allah akan membicara dengannya tanpa penerjemah, Allah berbicara dengan hamba-Nya yang mukmin dan menetapkan dosa-dosa yang telah ia lakukan dan berfirman, “Kamu telah berbuat demikian pada hari ini,” dan ia mengakuinya dan mengira termasuk orang yang binasa, kemudian Allah berfirman, “Sungguh Aku menutupinya di dunia dan sekarang Aku mengampuninya.” Betapa banyak dosa-dosa kita yang Allah rahsiakan, hanya Dia yang mengetahuinya, tetapi pada hari Kiamat Allah menyempurnakan nikmatnya untuk kita dengan mengampuninya dan tidak menghukum kita, hanya bagi Allah segala puji.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang itu melihat ke sebelah kanannya, maka tidak ada yang dilihat olehnya kecuali amalan yang telah dilakukannya ketika hidupnya, dan dia melihat ke sebelah kirinya, maka tidak ada pula yang dilihat olehnya, kecuali amalan yang dilakukan ketika hidupnya. Kemudian dia melihat pula ke hadapan, maka tidak ada yang dilihatnya kecuali neraka yang ada dihadapannya. Maka takutlah kamu semua terhadap seksa neraka. Buatlah kebaikan walaupun dengan bersedekah sehiris kurma.” Atau lebih kecil dari itu.
Hadits ini sebagai dalil bahwa Allah Ta’ala kelak akan berbicara dengan suara yang terdengar, dapat difahami tidak memerlukan penerjemah, yang setiap objeknya memahaminya.
Begitu juga dalil bahwa sedekah itu akan menyelamatkan orang yang bersedekah dari siksa api neraka walaupun hanya sedikit, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baginda, “Maka takutlah kalian terhadap neraka walaupun hanya dengan (bersedekah) separuh kurma.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, “Dan sekiranya tidak mempunyai sesuatu untuk di sedekahkan, maka bersedekahlah dengan kata-kata yang baik-baik sahaja.” Yaitu kalau tidak memiliki harta walaupun sebiji kurma hendaknya memelihara diri dari api neraka dengan tutur kata yang baik.
Perkataan yang baik itu artinya luas yang mencakup: membaca Al-Qur’an, bacaan Al-Qur’an adalah ucapan yang terbaik, tasbih (Subhanallah), takbir (Allahu akbar), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (Laa Ilaha Illallah) menganjurkan untuk berbuat baik dan mencegah yang mungkar, mengajarkan dan belajar ilmu dan setiap ucapan yang mendekatkan diri kepada Allah, tetapi jika tidak mendapatkan harta walaupun hanya sebiji kurma, maka bersedekahlah dengan ucapan yang baik. Inilah banyak jalan kebaikan, betapa banyak dan mudah untuk menunaikannya di antaranya adalah dengan bersedekah walaupun hanya sebutir kurma yang membebaskan dirinya dari jilatan dari api neraka, begitu pula perkataan yang baik kalau tidak mampu. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari siksa neraka.
Hadits 140.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ اللهَ لَيَرْضَ عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأَكُلَ الأَ كْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا، أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌِ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah redha terhadap seseorang hamba yang apabila dia makan, lalu dia memuji kepada-Nya di atas nikmat tersebut, ataupun apabila dia minum, lalu dia memuji kepada-Nya atas kenikmatan tersebut.”
[Shahih Muslim no. 2734]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Anas radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah redha terhadap seseorang hamba yang apabila dia makan, lalu dia memuji kepada-Nya di atas nikmat tersebut.” Penulis rahimahullah menafsirkan kata, “Al-Aklah” makan siang dan malam.
Hadits ini sebagai dalil bahwa redha Allah Ta’ala itu dapat diraih dengan amalan yang sederhana, bahkan hanya dengan ucapan yang sangat mudah ini -segala puji bagi Allah- (Alhamdulillah). Allah Ta’ala redha terhadap hambanya yang hanya mengucapkan, Alhamdulillah setelah makan atau minum. Kerana adab makan dan minum adalah ada yang bersifat ucapan dan perbuatan.
Perbuatan: Kita dianjurkan makan dan minum menggunakan tangan kanan dan tidak boleh makan dan minum dengan tangan kiri, kerana menurut pendapat yang kuat orang yang minum dan makan tangan kiri hukumnya haram, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang makan dan minum menggunakan tangan kiri, kerana syaitan makan dan minum dengan tangan kirinya, dalam riwayat shahih Muslim, ketika ada yang makan dengan tangan kirinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menengurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Kemudian ia berkelit, “Saya tidak bisa.” Kemudian baginda bersabda, “Kamu tidak akan bisa.” Kemudian setelah itu tangan kanannya lumpuh tidak bisa mengangkat makanan ke mulutnya sebagai hukuman atas ucapannya itu, na’udzubillah.
Ucapan: Mengucapkan basmalah sebelum makan, yaitu ucapan,
Bismillah. Pendapat yang lebih kuat hukumnya adalah wajib kerana seseorang yang makan dan minum tidak mengucapkan basmalah adalah berdosa, dan jika tidak mengucapkannya maka syaitan makan dan minum bersamanya.
Dengan demikian, wajib hukumnya setiap orang untuk mengucapkan basmalah sebelum makan dan minum, jika terlupa hendaknya mengucapkan ketika ingat pada pertengahan.
.بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
“Bismillaah awwalahu wa aakhirohu.” (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).
Begitu pula jika seseorang lupa mengucapkannya hendak diingatkan, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan Umar bin Abu Salamah ketika ia masih kecil dan berada dalam didikan baginda. Umar bin Abu Salamah adalah anak isteri Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ketika ingin makan ia langsung mengambil makanan tidak mengucapkan basmalah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai anak kecil, ucaplah basmalah (Bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang lebih dekat denganmu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4957, 4959. Muslim no. 3767]
Hadits ini sebagai dalil bahwa makan bersama tidak cukup salah seorang yang mengucapkan basmalah, tetapi masing-masing harus mengucapkannya.
Oleh kerana itu, mengucapkan basmalah sebelum makan dan minum itu hukumnya wajib dan termasuk adab makan dan minum yang tidak boleh ditinggalkan.
Begitu pula ketika sesudah makan dan minum adabnya adalah mengucapkan, Alhamdulillah
bersyukur atas nikmat-Nya ini, ia masih dapat makan dan minum kerana tidak ada seorang pun yang mampu memberinya makan dan minum kecuali Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Pernahkah kamu memperlihatkan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?”
(QS. Al-Wâqi’ah: 56: 68-69)
Kerana seandainya Allah tidak menumbuhkan tanaman ini kemudian melalui banyak proses hingga sampai ke depan mulutnya pasti tidak akan bisa makan. Begitu pula air, seandainya Allah tidak menurunkannya dari langit, kemudian diserap bumi, lalu dipancarkan banyak mata air, pasti tidak akan bisa meminumnya, demikian Allah Ta’ala berfirman,
“Sekiranya Kami menghendaki, nescaya Kami menjadikan asin, mengapa kamu tidak bersyukur?”
(QS. Al-Wâqi’ah: 56: 70)
Dengan demikian bentuk rasa syukurnya adalah dengan mengucapkan Alhamdulillah sesudah makan dan minum, dan ucapan inilah di antara penyebab redha Allah terhadap hamba-Nya.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al-Aklah” penulis rahimahullah menafsirkan, “Makan siang dan malam” maksudnya bukan setiap suap kemudian mengucapkan hamdalah, atau setiap habis satu kurma mengucapkan hamdalah, tetapi menurut sunnah jika makanan telah habis. Sebuah riwayat mengatakan bahwa Imam Ahmad mengucapkan hamdalah setiap kali habis sesuap, kemudian ditanyakan tentang itu dan dia menjawab, “Satu suap kemudian mengucapkan hamdalah itu lebih baik daripada satu suap kemudian diam.”
Tetapi jelas bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
cukup mengucapkan hamdalah ketika makan dan minumnya sudah selesai, tetapi jika melihat terdapat maslahat seperti mengingatkan yang lain maka menurutku boleh, sebagaimana dilakukan oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Hadits 141.
عَنْ أَبِي مُوْسَي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ » قَالَ : أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: « يَعْمَلَ بِيَدَيْهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ » : قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَسْتطِعْ؟ قَالَ: يُعِيْنُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ » قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ قَالَ: « يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ أَوِ الْخَيْرِ » قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَفْعَلْ؟ قَالْ: « يُمْسِكُ عَنِ الشَّرِّ فَإِنَّهَا صَدَقةٌ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Musa radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda, “Setiap muslim itu wajib bersedekah.”
Dia bertanya, “Bagaimana jika tidak mempunyai apa-apa?”
Baginda menjawab, “Hendaklah dia bekerja dengan usahanya sendiri sehingga bermanfaat untuk dirinya dan bersedekah.”
Dia bertanya lagi, “Bagaimana pula sekiranya dia tidak mampu?”
Baginda menjawab, “Hendaklah dia menolong orang yang lemah yang memerlukan bantuan.”
Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak mampu.”
Baginda menjawab, “Hendaklah dia menyuruh orang lain melakukan kebaikan.”
Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak mampu juga.”
Baginda menjawab, “Hendaklah mencegah dirinya untuk berbuat jahat kerana itu termasuk sedekah baginya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1445. Muslim no. 1008]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Musa radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim itu wajib bersedekah.” Sebagaimana hadits yang lalu senada dengan hadits ini tetapi lebih umum yaitu, “Bagi setiap ruas persendian tubuh manusia harus dikeluarkan sedekah, pada setiap hari selama matahari terbit..”
[Shahih Al-Bukhari no. 2989. Muslim no. 1009]
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah mewajibkan kita bersedekah setiap hari, sedekah itu ada bermacam-macam bentuknya seperti, tasbih (Subhanallah), takbir (Allahu akbar), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (Laa Ilaha Illallah), menyuruh kebaikan, mencegah mungkar, menolong orang yang lemah dan banyak lagi pintu kebaikan.
Tetapi jiwa ini selalu memerintahkan yang buruk, selalu menghalangi manusia untuk berbuat kebaikan, setiap kali ingin berbuat kebaikan ia membuka pintu lain seolah lebih baik, sehingga kesempatan berbuat baik itu hilang tidak berbuat apa-apa. Dengan demikian hendaknya setiap orang berlomba-lomba berbuat kebaikan, setiap kali mendapatkan kesempatan maka bersegeralah menunaikannya, Allah Ta’ala berfirman,
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
(QS. Al-Mâ’idah: 5: 48)
Kerana setiap kali seseorang dibukakan kesempatan untuk berbuat baik tetapi tidak memanfaatkannya khawatir Allah akan membuatnya lambat berbuat baik. Sebagaimana Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidaklah suatu kaum senantiasa mengakhir-akhirkan amal kebajikan kecuali Allah benar-benar mengakhirkannya.”
[Shahih Muslim no. 662]
Dengan demikian, hendaknya seseorang mukmin yang cerdas itu selalu memanfaatkan kesempatan untuk selalu berbuat kebajikan, selalu berjaga di depan pintu dan setiap kali terbuka cepat-cepat ia menunaikannya dan akhirnya buah dari kehidupannya adalah amal shalih. Semoga Allah selalu menolong kita semua untuk selalu berdzikir dan ibadah kepada-Nya dengan benar. Sungguh Dia-lah Maha Mulia.