Runtuhnya Kejayaan Turki Utsmani: Pelajaran dari Sejarah untuk Lembaga Islam Kontemporer
Oleh: Zakiudin, S.Pd.I., Gr., CPS., CHTeach., CFHA [ Kepala Sekolah SMPIT Al Furqon Palembang ]

KALIMAT yang sering digaungkan ” Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya” memberikan gambaran kepada kita bahwa segala sesuatu itu tidaklah kekal atau abadi.
Pada suatu saat akan tergantikan atau hilang. Sejarah telah membuktikan kejayaan sebuah peradaban, termasuk kekhalifahan yang perkasa seperti Kerajaan Turki Utsmani, bukanlah sebuah keabadian. Sejarah mencatat bahwa puncak kemegahan seringkali diikuti oleh masa-masa kemunduran, bahkan keruntuhan.
Meskipun Kekhalifahan Utsmani mampu bertahan selama berabad-abad, faktor internal yang menggerogoti dari dalam menjadi penyebab utama keruntuhannya, meninggalkan pelajaran berharga bagi generasi mendatang, khususnya bagi lembaga-lembaga Islam kontemporer.
Salah satu faktor fundamental yang acapkali disebut sebagai akar keruntuhan Utsmani adalah semakin jauhnya pemerintahan dari nilai-nilai agama Islam.
Pada masa-masa awal kejayaan, para sultan dan jajaran birokrasi Utsmani dikenal sangat menjunjung tinggi syariat Islam dalam setiap kebijakan dan perilaku mereka. Keadilan, amanah, dan ketakwaan menjadi pilar utama kepemimpinan.
Namun, seiring berjalannya waktu, kemewahan dan kekuasaan yang berlebihan mulai mengikis fondasi spiritual tersebut. Sehingga sangat takut akan kehilangan jabatan atau kekuasaan, yang menyebabkan kemunduran dan krisis kepercayaan.
Penyimpangan moral dan etika mulai merajalela di kalangan elite. Kezaliman, korupsi, dan praktik-praktik tidak Islami yang sebelumnya dikecam, perlahan-lahan menjadi hal yang lumrah.
Para ulama dan penasihat spiritual yang dulu memiliki pengaruh besar dalam mengarahkan kebijakan, mulai terpinggirkan atau bahkan dilemahkan suaranya.
Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil seringkali didasari oleh kepentingan pribadi atau kelompok, bukan lagi berdasarkan prinsip keadilan dan kemaslahatan umat.
Degradasi moral ini tidak hanya terjadi di pusat kekuasaan, tetapi juga merambat ke sendi-sendi masyarakat, menciptakan iklim yang kondusif bagi kemunduran.
Selain kemerosotan spiritual dan moral, beberapa faktor internal lain turut berkontribusi pada keruntuhan Utsmani:
• Degradasi Militer: Pasukan Janissari yang dulunya merupakan tulang punggung kekuatan militer Utsmani, perlahan-lahan kehilangan disiplin dan profesionalisme.
Mereka mulai terlibat dalam intrik politik dan bahkan pemberontakan, melemahkan kemampuan kekhalifahan untuk mempertahankan wilayah dan menghadapi ancaman eksternal.
Stagnasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Saat Eropa mengalami revolusi ilmiah dan industri, Utsmani cenderung stagnan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketergantungan pada tradisi dan penolakan terhadap inovasi membuat mereka tertinggal jauh dari kemajuan Barat, terutama dalam bidang militer dan ekonomi.
Krisis Ekonomi: Perang yang berkepanjangan, korupsi, dan sistem pajak yang tidak efektif menyebabkan krisis ekonomi.
Kekayaan yang diperoleh dari penaklukan tidak lagi mampu menutupi defisit anggaran, memaksa Utsmani untuk mencari pinjaman dari negara-negara Barat, yang pada gilirannya meningkatkan ketergantungan dan kontrol asing.
Perpecahan Internal dan Nasionalisme: Munculnya sentimen nasionalisme di antara berbagai etnis dan agama di bawah kekuasaan Utsmani, didorong oleh campur tangan asing, menyebabkan pemberontakan dan upaya pemisahan diri yang semakin melemahkan kekhalifahan.
Pelajaran dari runtuhnya kerajaan Utsmani ini, menjadi sangat relevan ketika kita melihat fenomena yang terjadi di lembaga-lembaga Islam saat ini.
Tidak sedikit lembaga pendidikan Islam, masjid, yayasan sosial keagamaan, atau organisasi dakwah yang kesulitan mempertahankan eksistensinya. Mengapa ini terjadi? Beberapa alasannya serupa dengan apa yang dialami Utsmani:
Keegoisan Individu dan Kepentingan Pribadi: Banyak lembaga Islam yang didirikan dengan niat mulia, namun seiring waktu, kepentingan pribadi pengelola atau tokoh-tokoh kunci mulai mendominasi.
Ego sektoral, perebutan kekuasaan, atau bahkan penyelewengan dana umat menjadi penyebab konflik internal yang merusak integritas dan kepercayaan publik. Ini mirip dengan bagaimana korupsi dan intrik politik menggerogoti Utsmani.
Ketidakmampuan Pengelolaan dan Kurangnya Regenerasi Kepemimpinan: Manajemen yang buruk seperti dengan sengaja membangun managemen konflik, menimbulkan gap atau kesenjangan, kurangnya visi jangka panjang, serta minimnya kaderisasi kepemimpinan yang terencana dengan baik menjadi masalah krusial.
Ketika pendiri atau pemimpin kunci beranjak tua atau wafat, seringkali tidak ada sosok yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan dengan visi dan kapabilitas yang sama. Hal ini menyebabkan lembaga berjalan stagnan atau bahkan mati suri. Di Utsmani, degradasi kualitas sultan dan birokrat setelah era keemasan adalah cerminan dari hal ini.
Kurangnya Transparansi dan Keadilan Kerja: Ketiadaan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara staf, anggota, atau jamaah.
Ditambah lagi dengan praktik ketidakadilan dalam pembagian tugas, penghargaan, atau promosi, menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan melemahkan semangat kolaborasi. Hal ini serupa dengan bagaimana kezhaliman dan ketidakadilan melemahkan kohesi sosial dalam tubuh Utsmani.
Jauhnya dari Substansi Ajaran: Kadang-kadang, lembaga-lembaga Islam terlalu terpaku pada formalitas atau simbol-simbol keagamaan, namun abai terhadap substansi ajaran Islam yang menekankan keadilan, kejujuran, persatuan, dan pelayanan kepada umat.
Jika nilai-nilai inti ini tidak diamalkan dalam praktik manajemen, lembaga akan kehilangan ruh dan daya tariknya.
Memetik Hikmah untuk Masa Depan
Runtuhnya Kerajaan Turki Utsmani adalah sebuah pengingat bahwa fondasi spiritual, moralitas yang kuat, dan manajemen yang profesional adalah kunci keberlangsungan sebuah entitas, baik itu negara maupun sebuah lembaga. Bagi lembaga-lembaga Islam kontemporer, ini adalah panggilan untuk:
1. Kembali kepada Esensi Ajaran Islam: Menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam setiap aspek manajemen dan interaksi.
2. Membangun Kepemimpinan yang Berintegritas: Memilih pemimpin yang tidak hanya cakap secara manajerial, tetapi juga memiliki integritas moral, spiritual, dan komitmen yang kuat terhadap visi lembaga.
3. Melakukan Regenerasi dan Kaderisasi: Menyiapkan generasi penerus dengan pelatihan dan pendampingan yang sistematis agar estafet kepemimpinan dapat berjalan lancar.
4. Menerapkan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas: Mengelola lembaga dengan jujur, terbuka, dan bertanggung jawab kepada semua pemangku kepentingan.
5. Menegakkan Keadilan: Memperlakukan semua anggota, staf, dan pihak terkait dengan adil, tanpa diskriminasi atau keberpihakan.
6. Adaptasi dan Inovasi: Terbuka terhadap perubahan dan kemajuan, serta berinovasi dalam metode dakwah, pendidikan, dan pelayanan agar tetap relevan dengan kebutuhan umat.
Dengan belajar dari sejarah dan mengimplementasikan prinsip-prinsip ini, diharapkan lembaga-lembaga Islam saat ini dapat mempertahankan eksistensinya, bahkan berkembang menjadi pilar-pilar peradaban yang kokoh, mencerahkan, dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan umat dan bangsa.