Siti Hajar: Ibu yang Berlari demi Sebuah Doa

DI tengah lembah kering dan sunyi, tanpa pohon, tanpa air, tanpa tanda-tanda kehidupan, berdirilah seorang perempuan—sendiri bersama bayinya yang masih merah, Ismail. Tak ada tangis keluh, hanya pertanyaan lirih namun penuh keyakinan yang terucap dari bibirnya:
“Apakah ini perintah Allah?”
Nabi Ibrahim menjawab, “Ya.”
Maka ia berkata:
“Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”(HR. Bukhari)
Itulah Hajar—seorang perempuan yang namanya hanya disebut sekali dalam literatur Islam, tetapi jejak imannya ditulis abadi di sepanjang sejarah umat manusia. Ia tak berkhotbah, tak memimpin pasukan, tak mengguncang dunia dengan syair atau senjata. Tapi ia berlari. Ya, hanya berlari. Namun langkahnya mengguncang langit. Larinya bukan lari kepanikan semata. Itu adalah lari penuh doa. Ikhtiar seorang ibu yang menggabungkan air mata dengan tauhid, cemas dengan yakin, lelah dengan tawakal.
Bukit Shafa dan Marwah menjadi saksi betapa mulianya perjuangan seorang ibu. Ia berlari dari satu bukit ke bukit lain sebanyak tujuh kali, berharap ada setetes air untuk sang anak yang menangis kehausan. Tidak ada. Tapi langit menjawab dengan cara yang tak pernah ia duga. Allah menurunkan zamzam — bukan dari lembah atau hujan — tetapi dari hentakan kaki mungil sang bayi, Ismail. Karena doa ibu yang tulus tak pernah sia-sia. Karena Allah tidak pernah menelantarkan hamba yang bertawakal kepada-Nya.
Dan Allah mengabadikan perjuangan itu, bukan hanya dalam kisah, tapi menjadikannya bagian dari ibadah haji:
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa berhaji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa’i antara keduanya.”
(QS. Al-Baqarah: 158)
Sa’i itu bukan sekadar lari bolak-balik. Ia adalah simbol bahwa dalam hidup, kita harus berusaha dengan sepenuh hati, meski hasilnya belum tampak. Bahwa tidak ada ikhtiar yang sia-sia di hadapan Allah. Dan bahwa perjuangan seorang ibu—tak dikenal dunia, namun dikenal langit—adalah syi’ar yang harus diikuti jutaan umat.
Hari ini, jutaan manusia berjalan menapaki jejak Hajar. Di bawah terik matahari, di tengah keramaian, mereka tidak hanya mengingat kisah seorang ibu. Mereka tengah menghidupkan kembali ruh keyakinan: bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar, yang bertawakal, yang berjuang.
Hajar tidak meminta dikenang. Ia hanya ingin menjaga amanah. Tapi Allah memberinya kehormatan yang tidak dimiliki oleh ratu manapun: setiap tahun, jutaan orang dari berbagai penjuru dunia menyusuri jejaknya, menapak langkah-langkah cintanya kepada Tuhan.
Hajar adalah pelajaran bahwa kemuliaan tidak selalu terletak pada suara yang nyaring atau posisi yang tinggi. Kadang, ia hadir dalam diam seorang ibu yang rela ditinggal, yang berjuang dengan air mata dan keyakinan yang tak pernah padam.
[]Bangun Lubis