< Gaza: Jeritan dari Reruntuhan yang Menembus Langit - Satujalan.com
DUNIA ISLAM

Gaza: Jeritan dari Reruntuhan yang Menembus Langit

Gaza: Jeritan dari Reruntuhan yang Menembus Langit

Oleh: Bangun Lubis – Wartawan Muslim

Di bumi yang dipenuhi debu dan darah itu, Gaza kembali berdarah. Setiap hari, langitnya dipenuhi dentuman bom dan raungan rudal. Tidak ada pagi yang benar-benar pagi, tidak ada malam yang benar-benar malam. Yang ada hanyalah suara ledakan yang memekakkan telinga, jeritan yang menembus langit, dan tangisan yang tidak pernah berhenti.

Di balik puing-puing rumah yang hancur, ada manusia yang kehilangan segalanya. Seorang ayah duduk bersila di atas beton yang sudah retak, di tempat yang dulu adalah ruang tamu penuh tawa. Di situ, ia meratapi istri dan dua anaknya yang tak sempat ia peluk untuk terakhir kalinya. Kini, hanya ada debu, puing, dan sunyi yang menampar hati. Tangannya gemetar, mengais reruntuhan dengan harapan sia-sia. Ia tahu, mereka tak akan kembali.

Di sudut lain Gaza, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun berdiri terpaku. Boneka lusuh di pelukannya kotor, kepalanya hampir lepas. Matanya kosong, menatap langit yang setiap saat mengirimkan kilatan api. Dengan suara lirih, ia berbisik:

“Aku hanya ingin tidur… sekali saja… tanpa suara bom. Apakah itu terlalu sulit?”

Pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban. Ia menembus dada siapa pun yang mendengarnya, menyayat nurani yang masih hidup.

Sekolah yang Hancur, Mimpi yang Terkubur

Sekolah-sekolah kini hanya tinggal bangunan yang porak-poranda. Papan tulis masih berdiri, tetapi tertutup debu dan serpihan kaca. Buku-buku berserakan, sebagian terbakar, sebagian tertimbun puing. Di kursi-kursi yang terbalik, masih ada sisa-sisa harapan anak-anak Gaza yang bermimpi menjadi dokter, guru, atau insinyur. Semua mimpi itu kini terkubur bersama mereka yang tak sempat tumbuh besar.

Rumah Sakit Jadi Neraka

Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat menyelamatkan nyawa berubah menjadi neraka. Lorong-lorong penuh dengan pasien terluka, anak-anak yang menangis memanggil ibunya, dokter yang bekerja tanpa henti dengan peralatan seadanya. Darah bercampur air mata, teriakan bercampur doa. Bau obat dan mesiu memenuhi udara, membuat setiap tarikan napas terasa berat.

Baca Juga  Guru Memiliki Rendah Hati yang Mulia

Seorang dokter muda berkata dengan suara parau:
“Kami kehabisan obat, kami kehabisan ruang, tapi kami tidak boleh kehabisan harapan.”

Namun, matanya yang sembab membantah kata-katanya sendiri.

Masjid yang Roboh, Doa yang Tak Pernah Hilang

Masjid-masjid, tempat orang-orang mencari ketenangan, ikut menjadi sasaran. Kubah yang runtuh, sajadah yang penuh debu, dan mimbar yang hancur adalah saksi bisu kebiadaban perang. Namun dari reruntuhan itu, masih terdengar doa. Masih ada orang-orang yang bersujud, mengangkat tangan ke langit, memohon kekuatan dan pertolongan dari Allah.

Suara dari Dunia untuk Gaza

Banyak tokoh dunia yang pernah menyuarakan luka Gaza, meski suara itu sering kalah oleh dentuman bom.

  • Desmond Tutu, tokoh anti-apartheid Afrika Selatan, pernah berkata dengan getir:
    “Jika engkau diam di hadapan ketidakadilan, maka engkau sudah memilih berpihak kepada penindas.”
    Gaza adalah wajah nyata dari kalimat itu — dunia yang diam, sementara anak-anak terus menjadi korban.
  • Noam Chomsky, intelektual dunia, menulis:
    “Penderitaan Gaza adalah aib moral bagi seluruh umat manusia.”
    Setiap bom yang jatuh bukan hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga mencoreng hati nurani kita.
  • Nelson Mandela pernah berpesan:
    “Kebebasan kita tidak akan lengkap tanpa kebebasan rakyat Palestina.”
    Gaza adalah cermin, bahwa kebebasan sebagian manusia masih terkunci di balik pagar besi dan bara mesiu.
  • Recep Tayyip Erdoğan, Presiden Turki, berulang kali menegaskan:
    “Palestina adalah luka terbuka dunia Islam. Selama Gaza berdarah, kita semua ikut berdosa jika hanya berdiam diri.”
  • Bahkan anak-anak Gaza sendiri meninggalkan kalimat yang tak terlupakan. Seorang anak laki-laki, menjelang ajalnya di rumah sakit, berbisik kepada perawat:
    “Tolong sampaikan pada dunia… kami juga manusia.”

Jeritan yang Menjadi Doa

Jeritan Gaza bukan sekadar pekikan kesakitan, tetapi doa yang menembus langit. Dunia mungkin menutup telinga, tetapi Allah mendengar semuanya.

Baca Juga  Didik Anakmu dengan Ajaran Islam

Mungkin dunia hanya melihat angka — ratusan ribu pengungsi, ribuan korban jiwa. Tetapi di balik angka itu ada nama, ada wajah, ada kehidupan yang dipaksa hilang. Seorang ibu yang kehilangan bayinya, seorang kakek yang kehilangan seluruh keluarganya, seorang pemuda yang tak sempat mengenal arti dewasa.

Mereka menangis, namun juga berdoa. Mereka hancur, namun tetap bersujud. Mereka kehilangan segalanya, tetapi tetap menyimpan secercah harapan bahwa bumi Gaza suatu hari akan kembali damai.

Harapan di Tengah Abu

Dan di tengah semua itu, Gaza tetap berdiri. Meski roboh, mereka tidak runtuh. Meski terluka, mereka tidak menyerah. Dari mata anak-anak yang masih bisa tersenyum di tengah puing, dari doa seorang ibu yang tak berhenti meski suaranya serak, dari tangan-tangan yang tetap menolong meski penuh luka — Gaza mengirimkan pesan kepada dunia:

“Kami masih hidup. Kami masih ada. Kami masih berpegang pada harapan.”

Jeritan Gaza bukan hanya tentang kepedihan, tetapi juga tentang keberanian untuk terus bertahan. Meski dunia seakan diam, meski keadilan terasa jauh, Gaza tetap melawan dengan iman yang tak bisa dipadamkan.

Dan setiap dentuman bom, setiap jeritan anak, setiap doa yang lirih, semuanya akan tercatat. Gaza mungkin hancur, tetapi air mata dan darah mereka akan menjadi saksi yang abadi — bahwa di sana, ada sebuah bangsa yang berjuang, dengan segala yang mereka punya, agar tetap bisa hidup.(*)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button