Menegakkan Syariat: Menemui Jejak Para Nabi dan Mencapai Kemenangan Dari Allah

Sebuah ungkapan dalam firman Allah :“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi, dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam; dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. Al-Ahzab: 7)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(QS. Muhammad: 7)
Dua ayat ini menjadi pondasi kuat atas ungkapan dan seruan Ustadz Abu Hamzah, seorang ustadz yang dikenal di Palembang, mengemukakan : seseorang yang mengaku muslim harus berani menegakkan syariat dengan tegas. Pernyataan ini bukan sekadar opini atau seruan personal, melainkan gema dari seruan langit yang telah terpatri sejak zaman para nabi terdahulu.
Syariat: Amanah Agung yang Diteguhkan Para Rasul
Dalam QS. Al-Ahzab ayat 7, Allah menegaskan bahwa seluruh nabi telah diambil sumpah oleh-Nya — perjanjian yang tidak main-main, disebut mîtsâqan ghalîzhâ (perjanjian yang berat dan kokoh). Mereka tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga menegakkan hukum Allah di tengah-tengah masyarakat mereka, meski penuh tantangan, ancaman, bahkan pengusiran.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan (mereka) takut kepada-Nya dan tidak takut kepada seorang pun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.”
(QS. Al-Ahzab: 39)
Jika para nabi yang mulia telah menegakkan syariat dalam berbagai tekanan, maka sebagai umat akhir zaman, kita pun dituntut memiliki keberanian yang sama. Menegakkan syariat bukan berarti memaksakan kehendak, tetapi menjadi pembela hukum Allah dalam batas hikmah, kasih sayang, dan ketegasan.
Menolong Agama Allah, Allah akan Menolongmu
- Muhammad ayat 7 menjanjikan kemenangan dan pertolongan bagi mereka yang menolong agama Allah. Menolong agama Allah bukan hanya dengan lisan, tetapi juga dengan tindakan nyata: melaksanakan syariat dalam kehidupan pribadi, keluarga, hingga masyarakat luas.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan:
“Barangsiapa yang menolong agama Allah, yakni menegakkan hukum-hukum-Nya, menyebarkan syariat-Nya, dan membela ajaran-Nya, maka Allah pasti akan mengokohkan mereka dan memenangkan mereka atas musuh-musuhnya.” (Tafsir Al Quran Al Azhim)
Itulah mengapa Allah menjanjikan pertolongan-Nya kepada orang-orang yang berani menegakkan syariat, walau ditentang zaman, walau dikucilkan dunia.
Syariat Adalah Rahmat, Bukan Beban
Sayangnya, dalam dunia modern, kata “syariat” seringkali dimaknai sebagai ancaman, atau sesuatu yang mengekang kebebasan. Padahal, dalam Islam, syariat adalah bentuk tertinggi kasih sayang Allah kepada umat manusia. Para ulama dan cendekiawan Muslim, memaknai ini selaras dengan banyak ayat Al-Qur’an, memaknai syariat sebagai bentuk rahmat, bukan sebagai belenggu.
Syekh Yusuf al-Qaradawi pernah menyatakan dalam bukunya Fiqih Prioritas:”Syariat Islam adalah bentuk cinta kasih Allah yang sempurna kepada manusia, karena dengannya manusia tahu mana jalan yang selamat dan mana yang celaka.”
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Rasulullah SAW adalah teladan sempurna dalam menjalankan syariat. Beliau tidak memaksa, namun mengajak. Beliau tidak marah karena dihina, namun menegur ketika syariat Allah dilanggar.
Dalil-dalil Lain tentang Kewajiban Menegakkan Syariat
- QS. Al-Ma’idah: 44
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”
- QS. Al-Baqarah: 2
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
→ Petunjuk yang dimaksud adalah aturan yang membawa manusia kepada keselamatan dunia dan akhirat.
- Hadis Riwayat Tirmidzi (No. 2676)
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Hadis ini menjelaskan bahwa menegakkan nilai-nilai Islam, termasuk hukum dan syariatnya, adalah bagian dari keimanan. Dan bentuk tertinggi dari keimanan itu adalah berani bertindak — bukan sekadar diam atau bersikap netral dalam kebatilan.
Ujian Pasti Ada, Tapi Pertolongan Allah Lebih Dekat
Menegakkan syariat tentu tidak akan mudah. Ia akan dihadapkan pada gelombang kebencian, propaganda, bahkan tekanan dari sesama muslim yang telah jauh dari pemahaman agama. Tapi orang-orang yang bersabar dan tetap di jalan ini akan mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah.
“Apakah kalian mengira akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) seperti orang-orang sebelum kalian? Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai ujian), hingga Rasul dan orang-orang beriman bersamanya berkata: ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”
(QS. Al-Baqarah: 214)
Saatnya Berani Tegakkan Syariat
Kini saatnya umat Islam, terutama para da’i, ustadz, dan generasi muda Islam untuk bangkit dan berani menegakkan syariat Allah — bukan karena kita sempurna, tapi karena Allah telah mengamanahkannya kepada kita.
Menegakkan syariat bukan hanya urusan negara atau penguasa. Ini dimulai dari diri sendiri: dari kejujuran, keadilan, ketaatan, akhlak, hingga keberanian menyuarakan kebenaran di tengah arus kebatilan. “Tegakkan Islam di dalam dirimu, maka ia akan bangkit dalam masyarakatmu.”
— Umar bin Khattab
Kemenangan Hanya untuk Mereka yang Teguh
Allah tidak pernah meminta kita untuk menang, tetapi untuk berpegang teguh pada kebenaran. Kemenangan hanyalah buah dari keteguhan itu. Seperti para nabi yang sabar dalam perjanjian mereka, seperti Rasulullah SAW yang teguh menegakkan syariat meski disakiti dan diusir, kita pun harus tetap berdiri — bahkan jika sendirian. Tiada ketakutan dalam menegakkan iman dan semua yang terkait dengan syariat Islam.
Karena tidak ada harga yang terlalu mahal untuk membela wahyu. “Barangsiapa yang hidup dalam Islam dan wafat di atas kebenaran, maka dia telah membeli surga dengan seluruh dunia.”
— Refleksi dari jejak para nabi.
Editor: Bangun Lubis